Halaman

Sabtu, 23 Februari 2013

Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Klasik


SEJARAH PERADABAN EKONOMI ISLAM KLASIK[1]
Oleh: Abdul Gafur[2]

A. Sistem Ekonomi Pada Masa Rasulullah Saw (1-11 H/621-632 M)
1. Latar Belakang.
            Sebelum Islam datang, situasi kota Yatsrib sangat tidak menentu karena tidak mempunyai pemimpin yang berdaulat secara penuh. Hukum dan pemerintahan di kota ini tidak pernah berdiri dengan tegak dan masyarakat dengan senantiasa hidup dalam ketidakpastian. Aus dan Khazraj yang merupakan dua kabilah terbesar di kota Yatsrib senantiasa terlibat dalam pertikaian untuk memperebutkan kekuasaan. Mereka juga berjanji akan selalu menjaga keselamatan diri Nabi dan para pengikutnya serta ikut memelihara dan mengembangkan ajaran Islam.
            Atas kedua bai‘at tersebut dan setelah mendapat perintah Allah Swt serta melihat fakta bahwa Islam mengalami tantangan dan rintangan yang sangat berat dari kaum kafir Quraisy selama 13 tahun sejak wahyu pertama diturunkan, Nabi Muhammad Saw berhijrah dari kota Makkah ke kota Yatsrib. Sesuai dengan perjanjian, di kota yang bertanar subur ini, Rasulullah Saw disambut dengan hangat serta diangkat sebagai pemimpin penduduk kota Yatsrib. Sejak saat itu, kota Yatsrib berubah nama menjadi kota Madinah.
            Berbeda halnya dengan kota Makkah, Islam menjadi kekuatan politik pada periode Madinah. Dalam jangka waktu yang relatif singkat, Rasulullah Saw telah menjadi pemimpin sebuah komunitas kecil yang jumlahnya terus meningkat dari waktu ke waktu. Rasulullah pun menjadi pemimpin bangsa Madinah. Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat (mu’amalah) banyak turun di kota ini. Dengan demikian, pada periode Madinah, Nabi Muhammad Saw mempunyai kedudukan sebagai kepala negara di samping pemimpin agama. Dengan kata lain, dalam diri Nabi Muhammad Saw terkumpul 2 power sekaligus, power spritual dan power kenegaraan.
            Setelah diangkat sebagai kepala negara, Rasulullah Saw segera melakukan perubahan drastis dalam menata kehidupan masyarakat Madinah. Hal utama yang dilakukan Rasulullah Saw adalah membangun sebuah kehidupan sosial, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, institusi, maupun pemerintahan, yang bersih dari berbagai tradisi, ritual, dan norma yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam. Seluruh aspek kehidupan masyarakat disusun berdasarkan nilai-nilai Qur’ani, seperti persaudaraan, persamaan, kebebasan dan keadilan.
kebebasan dan keadilan.
            Madinah merupakan negara yang baru terbentuk yang tidak memiliki harta warisan sedikit pun. Hal ini merupakan implikasi nyata dari kehidupan masyarakat Madinah di masa lalu yang selalu dihiasi oleh berbagai peperangan antar suku yang tidak pernah berhenti, hingga Islam hadir di tengah-tengah mereka. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kondisi masyarakat Madinah masih sangat tidak menentu dan memprihatinkan yang mengindikasikan bahwa negara tidak dapat dimobilisasi dalam waktu dekat. Oleh karena itu, Rasulullah harus memikirkan jalan untuk mengubah keadaan secara perlahan-lahan dengan mengatasi berbagai masalah utama tanpa tergantung pada faktor keuangan. Dalam hal ini, strategi yang dilakukan oleh Rasulullah adalah dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
  1. Membangun Mesjid.
            Setibanya di kota Madinah, tugas pertama yang dilakukan oleh Rasulullah Saw adalah mendirikan mesjid yang merupakan asas utama dan terpenting dalam pembentukan masyarakat Muslim. Rasulullah menyadari bahwa komitmen terhadap sistem, akidah, dan tatanan Islam baru akan tumbuh dan berkembang dari kehidupan sosial yang dijiwai oleh semangat yang lahir dari aktivitas mesjid. Di tempat ini, kaum Muslimin akan sering bertemu dan berkomunikasi, sehingga tali ukhuwwah dan mahabbah semakin terjalin kuat dan kokoh.
            Selain menjadi tempat ibadah, mesjid yang kemudian hari dikenal sebagai Mesjid Nabawi ini juga berfungsi sebagai Islamic Centre. Seluruh aktivitas kaum Muslimin dipusatkan di tempat ini mulai dari tempat pertemuan para anggota parlemen, sekretariat negara, mahkamah agung, markas besar tentara, pusat pendidikan dan pelatihan para juru dakwah, hingga bait al-māl. Dengan fungsi mesjid yang sedemikian beragam tersebut, Rasulullah Saw berhasil menghindari pengeluaran yang terlalu besar untuk pembangunan infrastruktur bagi Negara Madinah yang baru terbentuk.
  1. Merehabilitasi Kaum Muhajirin.
            Setelah mendirikan mesjid, tugas berikutnya yang dilakukan oleh Rasulullah Saw adalah memperbaiki tingkat sosial dan ekonomi kaum Muhajirin. Kaum Muslimin yang melakukan hijrah pada masa ini berjumlah sekitar 150 keluarga, baik yang sudah tiba di Madinah mau pun yang masih dalam perjalanan, dan berada dalam kondisi yang memprihatinkan karena hanya membawa sedikit perbekalan.
            Di kota Madinah, sumber mata pencaharian mereka hanya bergantung pada bidang pertanian dan pemerintah belum mempunyai kemampuan untuk memberikan bantuan keuangan kepada mereka. Menerapkan kebijakan yang sangat arif dan bijaksana, yakni dengan cara menanamkan tali persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Dalam hal ini, Rasulullah Saw membuat suatu bentuk persaudaraan baru, yakni persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan darah.
  1. Membuat Konstitusi Negara.
            Setelah mendirikan mesjid dan mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar, tugas berikutnya yang dilakukan Rasulullah Saw adalah menyusun Konstitusi Negara yang menyatakan tentang kedaulatan Madinah sebagai sebuah negara. Dalam konstitusi Negara Madinah ini, pemerintah menegaskan tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara, baik Muslim maupun Non-Muslim, serta sistem pertahanan dan keamanan negara. Sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, setiap orang dilarang melakukan berbagai aktivitas yang dapat mengganggu stabilitas kehidupan manusia dan alam.
  1. Meletakkan Dasar-Dasar Sistem Keuangan Negara.
            Setelah melakukan berbagai upaya stabilisasi di bidang sosial, politik serta pertahanan dan keamanan negara, Rasulullah meletakkan dasar-dasar sistem keuangan negara sesuai dengan ketentuan-ketentuan Al-Qur’an. Seluruh paradigma berpikir di bidang ekonomi serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dihapus dan digantikan dengan paradigma baru yang sesuai dengan nilai-nilai Qur’ani, yakni persaudaraan, persamaan, kebebasan dan keadilan.
2. Sistem Ekonomi.
            Madinah merupakan negara yang baru terbentuk dengan kemampuan daya mobilitas yang sangat rendah dari sisi ekonomi. Oleh karena itu, peletakan dasar-dasar sistem keuangan negara yang dilakukan oleh Rasulullah Saw merupakan langkah yang sangat signifikan, sekaligus brilian dan spektakuler pada masa itu, sehingga Islam sebagai sebuah agama dan negara berkembang dengan pesat dalam jangka waktu yang relatif singkat.
            Sistem ekonomi yang diterapkan oleh Rasulullah Saw berakar dari prinsip-prinsip Qur’ani. Al-Qur’an yang merupakan sumber utama ajaran Islam telah menetapkan berbagai aturan sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam melakuktan aktivitas di setiap aspek kehidupannya, termasuk di bidang ekonomi. Prinsip Islam yang paling mendasar adalah kekuasaan tertinggi hanya milik Allah semata dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Hal ini merupakan suatu anugerah, rahmat serta kasih sayang Allah Swt yang sangat besar terhadap umat manusia.
            Dalam rangka mengemban amanah sebagai khalifah-Nya, manusia diberi kebebasan untuk mencari nafkah sesuai dengan hukum yang berlaku serta dengan cara yang adil. Islam tidak membatasi kepemilikan pribadi, alat-alat produksi, barang dagangan atau pun perdagangan, tetapi hanya melarang perolehan kekayaan melalui cara-cara yang ilegal atau tidak bermoral.
            Allah Swt telah menetapkan melalui sunnah-Nya bahwa jenis pekerjaan atau usaha apa pun yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip Qur’ani tidak akan pernah menjadikan seseorang kaya raya dalam jangka waktu yang singkat. Oleh karena itu, setiap aktivitas ekonomi yang dapat mendatangkan uang dalam jangka waktu yang singkat, seperti perjudian, penimbunan kekayaan, penyelundupan, pasar gelap, spekulasi, korupsi, bunga dan riba, bukan saja tidak sesuai dengan hukum alam dan dilarang, tapi juga para pelakunya layak dihukum.
            Berdasarkan pandangannya yang paling prinsip tentang status manusia di muka bumi, Islam dengan tegas dan keras melarang segala bentuk praktek ribawi atau bunga uang. Berbagai pemikiran yang menyatakan bahwa pendapatan yang diperoleh dengan cara-cara ribawi adalah sah, jelas merupakan pendapat yang keliru dan menyesatkan karena praktek-praktek ribawi merupakan bentuk eksploitasi yang nyata. Islam melarang eksploitasi dalam bentuk apa pun, apakah itu dilakukan oleh orang-orang kaya terhadap orang-orang miskin, oleh penjual terhadap pembeli, oleh majikan terhadap budaknya, oleh laki-laki terhadap wanita, atau oleh atasan terhadap bawahannya.
            Kata riba dalam ayat-ayat Al-Qur’an digunakan sebagai terjemahan dari bunga uang yang tinggi. Terminologi dan sistem ini telah dikenal pada masa Jahiliyyah dan periode awal Islam, yakni sebagai bunga uang yang sangat tinggi yang dikenakan terhadap modal pokok. Jika ayat-ayat yang melarang berbagai praktek ribawi ditelaah lebih dalam dan komprehensif, terlihat jelas bahwa Islam sangat menentang keras setiap praktek ribawi, baik dalam jumlah yang sangat tinggi atau pun rendah. Pernyataan orang-orang kafir bahwa berdagang adalah sama dengan riba ditentang oleh Al-Qur’an, bahkan para pelakunya diancam dengan siksaan yang sangat pedih di akhirat kelak.
            Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan beberapa prinsip pokok tentang kebijakan ekonomi Islam yang dijelaskan Al-Qur’an sebagai berikut:
  1. Allah Swt adalah penguasa tertinggi sekaligus pemilik absolut seluruh alam semesta.
  2. Manusia hanyalah khalifah Allah Swt di muka bumi, bukan pemilik yang sebenarnya.
  3. Semua yang dimiliki dan didapatkan manusia adalah atas rahmat Allah Swt. Oleh karena itu, manusia yang kurang beruntung mempunyai hak atas sebagian kekayaan yang dimiliki saudaranya.
  4. Kekayaan harus berputar dan tidak boleh ditimbun.
  5. Eksploitasi ekonomi dalam segala bentuknya, termasuk riba, harus dihilangkan.
  6. Menerapkan sistem warisan sebagai media redistribusi kekayaan yang dapat mengeliminasi berbagai konflik individu.
  7. Menetapkan berbagai bentuk sedekah, baik yang bersifat wajib maupun sukarela, terhadap para individu yang memiliki harta kekayaan yang banyak untuk membantu para anggota masyarakat yang tidak mampu.

3. Keuangan dan Pajak.
a. Sumber-Sumber Pendapatan Negara.
            Surah Al-Anfāl (rampasan perang) pada tahun ke-2 Hijriyyah. Dalam ayat ini, Allah Swt menentukan tata cara pembagian harga ghanimah dengan formulasi sebagai berikut:
      i.      Seperlima bagian untuk Allah dan Rasul-Nya (seperti untuk negara yang dialokasikan bagi kesejahteraan umum), dan untuk para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan para musafir. Bagian seperlima ini dikenal dengan istilah khums. Pada umumnya, Rasulullah Saw membagi khums menjadi 3 bagian; pertama untuk dirinya dan keluarganya, kedua; untuk kerabatnya, dan ketiga; untuk anak-anak yatim, orang-orang miskin dan para musafir.
    ii.      Empat perlima bagian lainnya dibagikan kepada para anggota pasukan yang terlibat dalam peperangan (pada kasus tertentu, beberapa orang yang tidak terlibat dalam peperangan juga memperoleh bagian). Penunggang kuda memperoleh 2 bagian, yakni untuk dirinya sendiri dan untuk kudanya. Yang berhak memperoleh bagian adalah hanya tentara laki-laki, sedangkan wanita yang hadir untuk membantu beberapa hal tidak berhak memperoleh bagian dari rampasan perang.
            Pada tahun ke-2 Hijriyyah, Allah Swt mewajibkan kaum Muslimin menunaikan zakat fitrah pada setiap bulan Ramadhan. Besar zakat ini adalah 1 sha’ kurma, tepung, keju lembut, atau kismis; atau setengah sha’ gandum, untuk setiap Muslim, baik budak atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, muda atau tua, serta dibayarkan sebelum pelaksanaan shalat Id. Setelah kondisi perekonomian kaum Muslimin stabil, tahap selanjutnya Allah Swt mewajibkan zakat māl pada tahun ke-9 Hijriyyah.
            Pada masa pemerintahannya, Rasulullah Saw menerapkan jizyah, yakni pajak yang dibebankan kepada orang-orang non-Muslim, khususnya Ahli Kitab, sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta milik, kebebasan menjalankan ibadah, serta pengecualian dari wajib militer. Besarnya jizyah adalah 1 dinar/tahun untuk setiap laki-laki dewasa yang mampu membayarnya. Perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orang tua, penderita sakit jiwa, dan semua yang menderita penyakit dibebaskan dari kewajiban ini.
            Pada masa Rasulullah Saw, zakat dikenakan pada hal-hal berikut:
      i.      Benda logam yang terbuat dari emas, seperti koin, perkakas, perhiasan atau dalam bentuk lainnya.
    ii.      Benda logam yang terbuat dari perak, seperti koin, perkakas, perhiasan atau dalam bentuk lainnya.
  iii.      Binatang ternak, seperti unta, sapi, domba dan kambing.
  iv.      Berbagai jenis barang dagangan, seperti budak dan hewan.
    v.      Hasil pertanian, seperti buah-buahan.
  vi.      Luqaţah, harta benda yang ditinggalkan musuh.
vii.      Barang temuan.
            Data sejarah menunjukkan bahwa jumlah total pendapatan negara pada masa Rasulullah Saw tidak dapat diketahui. Menurut para sejarawan Muslim, hal ini disebabkan beberapa alasan, yaitu:
      i.      Jumlah kaum Muslimin yang bisa membaca sedikit, dan dari jumlah ini, orang yang dapat menulis atau mengenal aritmatika sederhana berjumlah lebih sedikit lagi.
    ii.      Sebagian besar pendapatan bernilai setara dan didistribusikan atau diberikan dalam bentuk yang sama.
  iii.      Sebagain besar pendapatan zakat hanya didistribusikan secara lokal.
  iv.      Bukti-bukti penerimaan dari berbagai daerah yang berbeda tidak umum digunakan.
    v.      Pada kebanyakan kasus, harta ghanimah didistribusikan berselang tidak lama setelah terjadi peperangan tertentu.

b. Sumber-Sumber Pengeluaran Negara.
            Catatan mengenai pengeluaran secara rinci pada masa pemerintahan Rasulullah Saw juga tidak tersedia. Namun demikian, hal ini tidak berarti menimbulkan kesimpulan bahwa sistem keuangan yang ada pada masa itu tidak berjalan dengan baik dan benar. Rasulullah senantian memberikan perintah yang jelas dan tegas kepada para petugas yang sudah terlatih mengumpulkan zakat. Dalam kebanyakan kasus, beliau menyerahkan pencatatan penerimaan zakat kepada masing-masing petugas. Setiap perlindungan yang ada disimpan dan diperiksa sendiri oleh Rasulullah, dan setiap hadiah yang diterima oleh para pengumpul zakat akan disita, seperti yang terjadi pada kasus Al-Lutbigha, pengumpul zakat dari Bani Salim. Berkaitan dengan pengumpulan zakat ini, Rasulullah sangat menaruh perhatian terhadap zakat harta, terutama zakat unta.
            Orang Urania pernah diberi hukuman berat karena mencuri zakat unta. Hasil pengumpulan kharaj dan jizyah didistribusikan melalui suatu daftar pembayaran yang berisi nama-nama orang yang berhak menerimanya. Masing-masing menerima bagian sesuai dengan kondisi materialnya, orang yang sudah menikah memperoleh bagian dua kali lebih besar daripada orang yang belum menikah.

4. Bait al-Māl.
            Sebelum Islam hadir di tengah-tengah umat manusia, pemerintahan suatu negara dipandang sebagai satu-satunya penguasa kekayaan dan perbendaharaan negara. Dengan demikian, pemerintah bebas mengambil harta kekayaan rakyatnya sebanyak mungkin serta membelanjakannya sesuka hati. Hal ini berarti, sebelum Islam datang, tidak ada konsep tentang keuangan publik dan perbendaharaan negara di dunia.
            Dalam negara Islam, tampuk kekuasaan dipandang sebagai sebuah amanah yang harus dilaksanakan sesuai perintah Al-Qur’an. Hal ini telah dipraktekkan oleh Rasulullah Saw sebagai seorang kepala negara secara baik dan benar. Beliau tidak menganggap dirinya sebagai seorang raja atau pemerintah dari suatu negara tetapi sebagai orang yang diberikan amanah untuk mengatur urusan negara.
            Namun, tidak disebutkan adanya seorang bendaharawan negara. Kondisi seperti ini hanya mungkin terjadi di lingkungan yang mempunyai sistem pengawasan yang ketat. Pada perkembangan berikutnya, institusi ini memainkan peran yang sangat penting dalam bidang keuangan dan administrasi negara, terutama pada masa pemerintahan Al-Khulafa Ar-Rasyidun.

B. Sistem Ekonomi Pada Masa Pemerintahan Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun (11-40 H/632-661 M).
1. Sistem Ekonomi Pada Masa Pemerintahan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq (11-13 H/632-634 M).
            Setelah Rasulullah Saw wafat, Abu Bakar Ash-Shiddiq yang bernama lengkap Abdullah bin Abu Quhafah At-Tamimi terpilih sebagai khalifah Islam yang pertama. Ia merupakan pemimpin agama sekaligus kepala negara kaum Muslimin. Pada masa pemerintahannya yang hanya berlangsung 2 tahun, Abu Bakar Ash-Shiddiq banyak menghadapi persoalan dalam negeri yang berasal dari kelompok murtad, nabi palsu, dan pembangkang zakat. Berdasarkan hasil musyawarah dengan para sahabat yang lain, ia memutuskan untuk memerangi kelompok tersebut melalui apa yang disebut sebagai perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Setelah berhasil menyelesaikan urusan dalam negeri, Abu Bakar mulai melakukan ekspansi ke wilayah utara untuk menghadapi pasukan Romawi dan Persia yang selalu mengancam kedudukan umat Islam. Namun, ia meninggal dunia sebelum misi ini selesai dilakukan.
            Dengan demikian, selama pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, harta Bait Al-Māl tidak pernah menumpuk dalam jangka waktu yang lama karena langsung didistribusikan kepada seluruh kaum Muslimin, bahkan ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq wafat, hanya ditemukan 1 dirham dalam perbendaharaan negara. Seluruh kaum Muslimin diberikan bagian yang sama dari hasil pendapatan negara. Apabila pendapatan meningkat, seluruh kaum Muslimin mendapat manfaat yang sama dan tidak ada seorang pun yang dibiarkan dalam kemiskinan. Kebijakan tersebut berimplikasi pada peningkatan aggregate demand dan aggregate supply yang pada akhirnya akan menaikkan total pendapatan nasional, di samping memperkecil jurang pemisah antara orang-orang yang kaya dengan yang miskin.

2. Sistem Ekonomi Pada Masa Pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M).
            Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama 10 tahun, Umar bin Khattab banyak melakukan ekspansi hingga wilayah Islam meliputi Jazirah Arab, sebagian wilayah kekuasaan Romawi (Syria, Palestian dan Mesir), serta seluruh wilayah kerajaan Persia, termasuk Irak. Atas keberhasilannya tersebut, orang-orang Barat menjuluki Umar sebagai The Saint Paul of Islam.
            Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar bin Khattab segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh Persia. Administrasi pemerintah diatur menjadi delapan wilayah provinsi, yaitu Makkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina dan Mesir. Ia juga membentuk jawatan kepolisian dan jawatan tenaga kerja.
a. Pendirian Lembaga Bait Al-Māl.
            Dalam catatan sejarah, pembangunan institusi Bait Al-Māl dilatarbelakangi oleh kedatangan Abu Hurairah yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Bahrain dengan membawa harta hasil pengumpulan pajak kharaj sebesar 500.000 dirham (sekitar Rp. 35 M). Hal ini terjadi pada tahun 16 H. Oleh karena jumlah tersebut sangat besar, Khalifah Umar mengambil inisiatif memanggil dan mengajak para sahabat terkemuka untuk bermusayawarah tentang penggunaan dana Bait Al-Māl tersebut. Setelah melalui diskusi yang cukup panjang, Khalifah Umar memutuskan untuk tidak mendistribusikan harta Bait Al-Māl, tetapi disimpan sebagai cadangan, baik untuk keperluan darurat, pembayaran gaji para tentara maupun berbagai kebutuhan umat lainnya.
            Khalifah Umar bin Khattab juga membuat ketentuan bahwa pihak ekskutif tidak boleh turut campur dalam mengelola harta Bait Al-Māl. Di tingkat provinsi, pejabat yang bertanggungjawab terhadap harta umat tidak bergantung kepada gubernur, dan mereka mempunyai otoritas penuh dalam melaksanakan tugasnya serta bertanggungjawab langsung kepada pemerintah pusat.
            Untuk mendistribusikan harta Bait Al-Māl, Khalifah Umar bin Khattab mendirikan beberapa departemen yang dianggap perlu, seperti:
      i.      Departemen Pelayanan Militer. Departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan.
    ii.      Departemen Kehakiman dan Ekskutif. Bertanggungjawab atas pembayaran gaji para hakim dan pejabat ekskutif.
  iii.      Departemen Pendidikan dan Pengembangan Islam. Departemen ini mendistribusikan bantuan dana bagi penyebar dan pengembang ajaran Islam beserta keluarganya, seperti guru dan juru dakwah.
  iv.      Departemen Jaminan Sosial. Berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada seluruh fakir miskin dan orang-orang yang menderita.

b. Kepemilikan Tanah.
            Selama pemerintahan Khalifah Umar, wilayah kekuasaan Islam semakin luas seiring dengan banyaknya daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan, baik melalui peperangan maupun secara damai. Hal ini menimbulkan berbagai permasalahan baru. Pertanyaan yang paling mendasar dan utama adalah kebijakan apa yang akan diterapkan negara terhadap kepemilikan tanah-tanah yang berhasil ditaklukkan tersebut. Para tentara dan beberapa sahabat terkemuka menuntut agar tanah hasil taklukan tersebut dibagikan kepada mereka yang terlibat dalam peperangan. Sementara sebagian kaum Muslimin yang lain menolak pendapat tersebut. Muadz bin Jabal, salah seorang di antara mereka yang menolak, mengatakan, “Apabila engkau membagikan tanah tersebut, hasilnya tidak akan menggembirakan. Bagian yang bagus akan menjadi milik mereka yang tidak lama akan meninggal dunia dan keseluruhannya akan menjadi milik seorang saja.”
            Mayoritas sumber pemasukan pajak kharaj berasal dari daerah-daerah bekas kerajaan Romawi dan Sasanid (Persia) dan hal ini membutuhkan suatu sistem administrasi yang terperinci untuk penaksiran, pengumpulan, dan pendistribusian pendapatan yang diperoleh dari pajak tanah-tanah tersebut.
      i.      Wilayah Irak yang ditaklukkan dengan kekuatan menjadi milik Muslim dan kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat. Sedangkan bagian wilayah yang berada di bawah perjanjian damai tetap dimiliki oleh pemilik sebelumnya, dan kepemilikan tersebut dapat dialihkan.
    ii.      Kharaj dibebankan kepada semua tanah yang berada di bawah kategori pertama, meskipun pemilik tanah tersebut memeluk agama Islam. Dengan demikian, tanah seperti itu tidak dapat dikonversi menjadi tanah ‘usyr.
  iii.      Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikan selama mereka membayar kharaj dan jizyah.
  iv.      Tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau tanah yang diklaim kembali (seperti Bashra) bila diolah oleh kaum Muslimin diperlakukan sebagai tanah ‘usyr.
    v.      Di Sawad, kharaj dibebankan sebesar 1 dirham (sekitar Rp. 70.000) dan 1 rafiz (suatu ukuran lokal) gandum dan barley (sejenis gandum) dengan asumsi tanah tersebut dapat dilalui air. Harga yang lebih tinggi dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan.
  vi.      Di Mesir, berdasarkan perjanjian Amar, setiap pemilik tanah dibebankan pajak sebesar 2 dinar (sekitar Rp. 4 juta), di samping 3 irdabb gandum, 2 qist untuk setiap minyak, cuka, madu, dan rancangan ini telah disetujui Khalifah.
vii.      Perjanjian Damaskus (Syria) berisi pembayaran tunai, pembagian tanah dengan kaum Muslimin, beban pajak untuk setiap orang sebesar 1 dinar (sekitar Rp. 2 juta) dan 1 beban jarib (unit berat) yang diproduksi per jarib (ukuran) tanah.

c. Zakat.
            Pada masa Rasulullah Saw, jumlah kuda di Arab masih sangat sedikit, terutama yang dimiliki oleh kaum Muslimin karena digunakan untuk kebutuhan pribadi dan jihad. Di Hudaibiyah mereka mempunyai sekitar 200 ekor kuda. Karena zakat dibebankan terhadap barang-barang yang memiliki produktivitas, seorang budak atau seekor kuda yang dimiliki kaum Muslimin ketika itu tidak dikenakan zakat.
            Pada masa Umar, Gubernur Thaif melaporkan bahwa pemilik sarang lebah tidak membayar ‘usyr, tetapi menginginkan sarang-sarang lebah tersebut dilindungi secara resmi. Umar mengatakan bahwa bila mereka mau membayar ‘usyr, sarang lebah mereka akan dilindungi. Namun, jika menolak, mereka tidak akan memperoleh perlindungan.
            Zakat yang ditetapkan adalah 1/20 untuk  madu yang pertama dan 1/10 untuk madu jenis yang kedua.
d. ‘Usyr.
            Sebelum Islam datang, setiap suku atau kelompok yang tinggal di pedesaan bisa membayar pajak (‘usyr) jual-beli. Besarnya adalah 10% dari nilai barang atau 1 dirham untuk setiap transaksi. Namun, setelah Islam hadir dan menjadi sebuah negara yang berdaulat di semenanjung Arab, Nabi mengambil inisiatif untuk mendorong usaha perdagangan dengan menghapus bea masuk antar provinsi yang masuk dalam wilayah kekuasaan dan masuk dalam perjanjian yang ditandatangani oleh beliau bersama dengan suku-suku yang tunduk kepada kekuasaan beliau. Secara jelas dikatakan bahwa pembebanan 1/10 hasil pertanian kepada pedagang Manbij (Hierapolis).
            Menurut Saib bin Yazid, pengumpul ‘usyr di pasar-pasar Madinah, orang-orang Nabaeteari yang berdagang di Madinah juga dikenakan pajak pada tingkat yang umum. Tetapi setelah beberapa waktu, Umar menurunkan persentasenya menjadi 5% untuk minyak dan gandum, untuk mendorong import barang-barang tersebut di kota.
e. Sedekah Dari Non-Muslim.
            Tidak ada Ahli Kitab yang membayar sedekah atas ternaknya kecuali orang Kristen Bani Taglib yang seluruh kekayaannya terdiri dari hewan ternak. Mereka membayar 2x lipat dari yang dibayar kaum Muslimin. Bani Taglib merupakan suku Arab Kristen yang gigih dalam peperangan. Umar mengenakan jizyah kepada mereka, tetapi mereka terlalu gengsi sehingga menolak membayar jizyah dan malah membayar sedekah.
            Nu’man bin Zuhra memberikan alasan untuk kasus mereka dengan mengatakan bahwa pada dasarnya tidak bijaksana memperlakukan mereka seperti musuh dan seharusnya keberanian mereka menjadi aset negara. Umar pun memanggil mereka dan menggandakan sedekah yang harus mereka bayar dengan syarat mereka setuju untuk tidak membaptis seorang anak atau memaksanya untuk menerima kepercayaan mereka. Mereka setuju dan menerima untuk membayar sedekah ganda.
f. Mata Uang.
            Pada masa Nabi dan sepanjang masa pemerintahan Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun, koin mata uang asing dengan berbagai bobot telah dikenal di jazirah Arab, seperti dinar (sebuah koin emas dengan kadar 4,25 gram dan 22 karat), dan dirham (sebuah koin perak dengan kadar 3,98 gram dan 15 karat). Bobot dinar adalah sama dengan 1 mitsqal atau sama dengan 20 qirat atau 100 grains of barky.
g. Klasifikasi dan Alokasi Pendapatan Negara.
            Seperti yang telah disinggung di muka, kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pendapatan negara adalah mendistribusikan seluruh pendapatan yang diterima. Pada masa pemerintahannya, Umar bin Khattab mengklasifikasi pendapatan negara menjadi 4 bagian, yaitu:
      i.      Pendapatan zakat dan ‘usyr. Pendapatan ini didistribusikan di tingkat lokal. Dan jika terdapat surplus, sisa pendapatan tersebut di simpan di Bait Al-Māl pusat dan dibagikan kepada delapan ashnaf, seperti yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an.
    ii.      Pendapatan khums dan sedekah. Pendapatan ini didistribusikan kepada para fakir miskin atau untuk membiayai kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah ia seorang Muslim atau bukan. Dalam sebuah riwayat, di perjalanan menuju Damaskus, Khalifah Umar bertemu dengan seorang Nasrani yang menderita penyakit kaki gajah. Melihat hal tersebut, Khalifah Umar segera memerintahkan pegawainya agar memberikan dana kepada orang tersebut yang diambilkan dari hasil pendapatan sedekah dan makanan yang diambilkan dari persediaan untuk para petugas.
  iii.      Pendapatan kharaj, fai’, jizyah, ‘usyr (pajak perdagangan), dan sewa tanah. Pendapatan ini digunakan untuk membayar dana pensiun dan dana bantuan serta untuk menutupi biaya operasional administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.
  iv.      Pendapatan lain-lain. Pendapatan ini digunakan untuk membayar para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.

h. Pengeluaran.
            Di antara alokasi pengeluaran dari harta Bait Al-Māl tersebut, dana pensiun merupakan pengeluaran negara yang paling penting. Prioritas berikutnya adalah dana pertahanan negara dan dana pembangunan.
            Seperti yang telah dijelaskan, Khalifah Umar menempatkan dana pensiun di tempat pertama dalam bentuk rangsum bulanan (arzaq) pada tahun 18 H. Dan selanjutnya pada tahun 20 H dalam bentuk rangsum tahunan (‘athiyya). Dana pensiun ditetapkan untuk mereka yang akan dan pernah bergabung dalam kemiliteran. Dengan kata lain, dana pensiun ini sama halnya dengan gaji reguler angkatan bersenjata dan pasukan cadangan serta penghargaan bagi orang-orang yang telah berjasa.
            Dana ini juga meliputi upah yang dibayarkan kepada para pegawai sipil. Sejumlah penerima dana pensiun juga ditugaskan untuk melaksanakan kewajiban sipil, tetapi mereka dibayar bukan untuk itu.
            Seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah Saw, Khalifah Umar menetapkan bahwa negara bertanggungjawab membayarkan atau melunasi utang orang-orang yang menderita pailit atau jatuh miskin, membayar tebusan para tahanan Muslim, membayar diyat orang-orang tertentu, serta membayar biaya perjalanan para delegasi dan tukar-menukar hadiah dengan negara lain. Dalam perkembangan berikutnya, setelah kondisi Bait Al-Māl dianggap cukup kuat, ia menambahkan beberapa pengeluaran lain dan memasukkannya ke dalam daftar kewajiban negara, seperti memberi pinjaman untuk perdagangan dan konsumsi.

3. Sistem Ekonomi di Masa Pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M).
            Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama 12 tahun, Khalifah Utsman bin Affan berhasil melakukan ekspansi ke wilayah Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania dan Tabaristan. Ia juga berhasil menumpas pemberontakan di daerah Khurasan dan Iskandariah.
            Pada enam tahun pertama masa pemerintahannya, Khalifah Utsman bin Affan melakukan penataan baru dengan mengikuti kebijakan Umar bin Khattab. Dalam rangka pengembangan sumber daya alam, ia melakukan pembuatan saluran air, pembangunan jalan-jalan, dan pembentukan organisasi kepolisian secara permanen untuk mengamankan jalur perdagangan. Khalifah Utsman bin Affan juga membentuk armada laut kaum Muslimin di bawah komando Muawiyah, hingga berhasil membangun supremasi kelautannya di wilayah Mediterania, Laodicea, dan wilayah di semenanjung Syria, Tripoli dan Barca di Afrika Utara menjadi pelabuhan pertama negara Islam. Namun demikian, pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan harus menanggung beban anggaran yang tidak sedikit untuk memelihara angkatan laut tersebut.
            Khalifah Utsman bin Affan tidak mengambil upah dari kantornya. Sebaliknya, ia meringankan beban pemerintah dalam hal-hal yang serius, bahkan menyimpan uangnya di bendahara negara.
            Dalam hal pengelolaan zakat, Khalifah Utsman bin Affan mendelegasikan kewenangan menaksir harta yang dizakati dari berbagai gangguan dan masalah dalam pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa oknum pengumpul zakat. Di samping itu, Khalifah Utsman berpendapat bahwa zakat dikenakan terhadap harta milik seseorang setelah dipotong seluruh utang-utang yang bersangkutan. Ia juga mengurangi zakat dari dana pensiun.
            Memasuki enam tahun kedua masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, tidak terdapat perubahan situasi ekonomi yang cukup signifikan. Berbagai kebijakan Khalifah Utsman bin Affan telah banyak menimbulkan benih kekecewaan yang mendalam pada sebagian besar kaum Muslimin. Akibatnya pada masa ini, pemerintahannya lebih banyak diwarnai kekacauan politik yang berakhir dengan terbunuhnya sang Khalifah.

4. Sistem Ekonomi di Masa Pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M).
            Masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang hanya berlangsung selama 6 tahun selalu diwarnai  dengan ketidakstabilan kehidupan politik. Ia harus menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair bin Awwam dan Aisyah yang menuntut kematian Utsman bin Affan.
            Sekalipun demikian, Khalifah Ali bin Abi Thalib tetap berusaha untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang dapat mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam.
            Pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib, prinsip utama dari pemerataan distribusi uang rakyat telah diperkenalkan. Sistem distribusi setiap pekan sekali untuk pertama kalinya diadopsi. Hari kamis adalah hari pendistribusian atau hari pembayaran. Pada hari itu, semua perhitungan diselesaikan. Dan pada hari sabtu dimulai perhitungan baru. Cara ini mungkin solusi yang terbaik dari sudut pandang hukum dan kondisi negara yang sedang berada dalam masa-masa transisi. Khalifah Ali meningkatkan tunjangan bagi para pengikutnya di Irak.
            Khalifah Ali memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan, administrasi umum dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Konsep ini dijelaskan dalam suratnya yang terkenal ditujukan kepada Malik Ashter bin Harits. Surat yang panjang tersebut antara lain mendeskripsikan tugas, kewajiban serta tanggung jawab para penguasa dalam mengatur berbagai prioritas pelaksanaan dispensasi keadilan serta pengawasan terhadap para pejabat tinggi dan staf-stafnya serta menjelaskan kelebihan dan kekurangan para jaksa, hakim dan abdi hukum lainnya.



                [1] Materi ini disampaikan dalam kegiatan Pembekalan Kelompok Studi Ekonomi Islam (KSEI) Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, tanggal 23 Februari 2013.
                [2] Dosen Pemikiran Ekonomi Islam, Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar