PEMIKIRAN
EKONOMI ISLAM KLASIK
Kontribusi kaum Muslimin yang sangat
besar terhadap kelangsungan dan perkembangan pemikiran ekonomi pada khususnya
dan peradaban dunia pada umumnya, telah diabaikan oleh para ilmuwan Barat. Para sejarawan Barat telah menulis sejarah ekonomi dengan
sebuah asumsi bahwa periode antara Yunani dan Skolastik adalah steril dan tidak
produktif. Sebagai contoh, sejarawan sekaligus ekonom terkemuka, Josep
Schumpeter, sama sekali mengabaikan peranan kaum Muslimin. Ia memulai penulisan
sejarah ekonominya dari para filosof Yunani dan langsung melakukan loncatan
jauh selama 500 tahun, dikenal sebagai The Great Gap, ke zaman St.
Thomas Aquinas (1225-1274 M).
Sebaliknya, meskipun telah
memberikan kontribusi yang besar, kaum Muslimin tidak lupa mengakui utang
mereka kepada para ilmuwan Yunani, Persia, India dan Cina. Hal ini sekaligus
mengindikasikan inklusivitas para cendekiawan Muslim masa lalu terhadap
berbagai ide pemikiran dunia luar selama tidak bertentangan dengan ajaran
Islam.
Berbagai praktek dan kebijakan
ekonomi yang berlangsung pada masa Rasulullah Saw dan Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun
merupakan empiris yang dijadikan pijakan bagi para cendekiawan Muslim dalam
melahirkan teori-teori ekonominya. Satu hal yang jelas, fokus perhatian mereka
tertuju pada pemenuhan kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan dan
kebebasan, yang tidak lain merupakan objek utama yang menginspirasikan
pemikiran ekonomi Islam sejak masa awal.
Berkenaan dengan hal tersebut,
Siddiqi menguraikan sejarah pemikiran ekonomi Islam dalam tiga fase, yaitu:
fase dasar-dasar ekonomi Islam, fase kemajuan dan fase stagnasi, sebagai
berikut:
a. Fase
Pertama.
Fase pertama merupakan fase abad
awal sampai dengan abad ke-5 Hijriyyah atau abad ke-11 Masehi yang dikenal
sebagai fase dasar-dasar ekonomi Islam yang dirintis oleh para fuqaha, diikuti
oleh sufi dan kemudian filosof. Pada awalnya, pemikiran mereka berasal dari
orang yang berbeda, tetapi di kemudian hari, para ahli mempunyai dasar
pengetahuan dari ketiga disiplin tersebut.Fokus fiqih adalah apa yang
diturunkan oleh syariah dan, dalam konteks ini, para fuqaha mendiskusikan
fenomena ekonomi. Tujuan mereka tidak terbatas pada penggambaran dan penjelasan
fenomena ini. Namun demikian, dengan mengacu pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi,
mereka mengeksplorasi konsep maslahah (utility) dan mafsadah (disutility)
yang terkait dengan aktivitas ekonomi.
Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam
pada fase pertama ini antara lain diwakili oleh:
i. Zaid bin Ali (10-80 H/699-738 M)
Zaid bin Ali berpandangan bahwa
penjualan suatu barang secara kredit dengan harga yang lebih tinggi daripada
harga tunai merupakan salah satu bentuk transaksi yang sah dan dapat dibenarkan
selama transaksi tersebut dilandasi oleh prinsip saling ridha antar kedua belah
pihak.
ii. Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M)
Ahli hukum besar ini merupakan
seorang pedagang yang beroperasi di Kufah, di mana pusat kegiatan perdagangan
berkembang pesat di sana.
Salah satu transaksi yang sangat populer saat itu adalah bai’ as-salam,
yaitu menjual barang yang akan dikirimkan kemudian, sedangkan pembayaran
dilakukan secara tunai pada waktu akan disepakati. Abu Hanifah meragukan
keabsahan akad tersebut yang dapat mengarah kepada perselisihan. Ia mencoba
menghilangkan perselisihan ini dengan merinci lebih khusus apa yang harus
diketahui dan dinyatakan dengan jelas di dalam akad seperti jenis komoditi,
mutu dan kuantitas serta waktu dan tempat pengiriman.
Abu Hanifah mengusung nilai-nilai
kemanusiaan dalam metode hukumnya. Ia mengkhawatirkan masyarakat miskin dan
lemah. Dengan demikian, ia tidak membebaskan perhiasan dari zakat. Namun ia
membebaskan orang yang memiliki utang dari zakat jika utangnya menutupi seluruh
harta miliknya. Ia juga menolak untuk mengesahkan bagi hasil (muzara’ah) dalam
kasus tanah yang tidak menghasilkan apa-apa, untuk melindungi pihak yang lemah.
iii.
Al-Awza’i (88-157 H/707-774 M)
Abdurrahman Al- Al-Awza’i berasal
dari Beirut,
hidup sezaman dengan Abu Hanifah. Ia menegakkan kebebasan akad untuk memudahkan
orang dalam bertransaksi. Ia mengizinkan bagi hasil (mudharabah) dari modal
yang diajukan, baik modal dalam bentuk tunai atau pun modal dalam bentuk
barang. Sementara para ahli fiqih lainnya bersikeras menetapkan bahwa modal itu
dalam bentuk tunai.
iv.
Malik (93-179 H/717-796 M)
Metode Imam Malik yang relevan untuk
ekonomi adalah pendekatan hukumnya yang menggunakan metode maslahah (utilitas,
apakah individu atau sosial).
Berdasarkan metode maslahahnya,
negara Islam berhak memungut pajak dari rakyatnya.
v. Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M)
Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim
dilahirkan di Kufah. Ia pernah
menyandang gelar ahli hukum (qadhi al-qudhat) pada masa pemerintahan
Harun al-Rasyid. Ia murid tersohor imam Abu Hanifah. Kitabnya al-Kharaj,
sempat menjadi panduan manual perpajakan pada masa pemerintahan Harun
al-Rasyid. Kitabnya ini merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan oleh Khalifah Harun al-Rasyid dan pertanyaan-pertanyaan yang dibuat
oleh dirinya sendiri. Istilah “al-Kharāj” sendiri dalam perspektif Abu
Yusuf mengandung dua makna: Pertama, makna yang berdimensi umum yaitu al-amwāl
al-‘āmmah (keuangan publik), atau sumber pendapatan negara. Hal ini
terlihat ketika Abu Yusuf mendiskusikan tema-tema yang berkaitan dengan sumber
pendapatan negara seperti ghanīmah, fai’, al-Kharāj, al-jizyah,
dan harta-harta yang berkedudukan sebagai pengganti seperti al-Kharāj
dan shadaqah. Kedua, makna al-Kharāj yang berdimensi
khusus terlihat ketika ia menyebutkan sewa tanah atau kompensasi atas
pemanfaatan tanah.
Abu
Yusuf mengusulkan dalam kitabnya al-Kharāj, bahwa pajak atas tanah
pertanian diganti dengan zakat pertanian, sehingga perhitungannya tidak
berdasarkan harga tanahnya tetapi dikaitkan dengan jumlah hasil panennya.
Begitu pula dengan pajak perniagaan digantikan dengan sistem zakat perniagaan.
Menurut
Abu Yusuf, harta yang diperoleh dari hasil pajak tanah (kharāj) tidak
layak digabungkan dengan harta yang diperoleh dari hasil zakat. Karena harta
hasil pajak tanah adalah harta ”rampasan” untuk seluruh kaum muslimin,
sedangkan harta zakat diperuntukkan bagi mereka yang disebutkan Allah dalam
al-Qur’an.
Pendapat
Abu Yusuf yang mirip dengan aliran fisiokratisme yang dimotori oleh Francis
Quesnay (1694-1774 M), adalah pendapatnya yang kontroversial dalam analisis
ekonomi tentang masalah pengendalian harga (tas’ir). Ia menentang
penguasa yang menetapkan harga. Argumennya didasarkan pada hadits Nabi
Saw: Diriwayatkan dari Anas, ia
mengatakan bahwa harga pernah mendadak naik pada masa Rasulullah Saw. Para sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah, tentukanlah
harga untuk kami. Beliau menjawab, “sesungguhnya Allah adalah Penentu harga,
Penahan, Pencurah, serta Pemberi rejeki. Aku mengharapkan dapat menemui Tuhanku di mana salah seorang dari kalian
tidak menuntutku karena kezaliman dalam hal darah dan harta.” Abu Yusuf menyatakan dalam kitab al-Kharāj,
“tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. Hal
tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui. Murah bukan
karena melimpahnya makanan. Murah dan mahal merupakan ketentuan Allah.
Kadang-kadang makanan berlimpah, tetapi tetap mahal dan kadang-kadang makanan
sangat sedikit tetapi murah.” Namun di sisi lain, Abu Yusuf juga tidak menolak
peranan permintaan dan penawaran dalam penentuan harga.
Abu
Yusuf menegaskan bahwa sumber ekonomi berada pada dua tingkatan; tingkatan
pertama meliputi unsur-unsur alam (antara lain air dan tanah). Unsur-unsur ini
paling kuat dan berproduksi secara mandiri. Tingkatan kedua ialah tenaga kerja.
Tingkatan yang kedua ini berperan kurang maksimal dan tidak rutin seperti
perbaikan dan pemanfaatan tanah, membuat sistem irigasi dan lain-lain.
vi.
Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani
(132-189 H/750-804 M)
Dalam
kitabnya Al-Kasb, Asy-Syaibani membahas pendapatan dan belanja rumah
tangga. Ia mendefinisikan kerja (al-kasb) sebagai pencarian dalam memperoleh
harta melalui berbagai cara yang halal. Dalam ekonomi Islam, aktivitas demikian
termasuk aktivitas produksi atau segala aktivitas yang menghasilkan barang dan
jasa dengan cara yang halal. Islam memandang bahwa suatu barang atau jasa
mempunyai nilai-guna jika mengandung kemaslahatan. Sementara, kemaslahatan
hanya bisa dapat dicapai dengan memelihara 5 unsur pokok kehidupan, yaitu;
agama (Ad-Dīn), jiwa (An-Nafs), akal (Al-‘Aql), keturunan
(An-Nasl) dan harta (Al-Māl).
Asy-Syaibani
menegaskan bahwa kerja (yang menjadi unsur utama produksi) mempunyai kedudukan
yang sangat penting dalam kehidupan, karena menunjang pelaksanaan ibadah kepada
Allah, dan karenanya hukum bekerja adalah wajib. Ia mengklasifikasikan jenis
pekerjaan ke dalam 4 hal, yakni sewa-menyewa (ijarah), perdagangan (tijarah),
pertanian (zira’ah), dan industri (shina’ah). Di antara keempat
usaha perekonomian tersebut, ia lebih mengutamakan pertanian memproduksi
berbagai kebutuhan dasar manusia yang sangat menunjang dalam melaksanakan berbagai
kewajibannya. Pendapatnya ini sangat mirip dengan pemikiran ekonomi aliran
Fisiokratisme 9 abad kemudian, tepatnya pada abad ke-17 M.
Asy-Syaibani
juga memiliki konsep spesialisasi dan distribusi pekerjaan (division of
labour). Ia menyatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu membutuhkan yang
lain. Seseorang tidak akan menguasai semua pengetahuan yang dibutuhkan
sepanjang hidupnya, dan kalaupun manusia berusaha keras maka usia akan
membatasi usahanya. Oleh karena itu, Allah memberi kemudahan pada setiap orang
untuk menguasai pengetahuan salah satu atau beberapa saja di antaranya,
sehingga manusia dapat bekerja sama dalam memenuhi kebutuhannya. Lebih lanjut,
ia menandaskan bahwa seorang yang fakir membutuhkan upah dari orang kaya
sedangkan yang kaya membutuhkan tenaga orang miskin. Dari hasil tolong-menolong
tersebut, manusia akan semakin mudah dalam menjalankan aktivitas ibadah kepada
Allah. Dengan demikian, distribusi pekerjaan seperti ini merupakan objek
ekonomi yang mempunyai 2 aspek sekaligus, yaitu aspek religius dan aspek
ekonomis.
Menurut
asy-Syaibani, sifat-sifat fakir mempunyai kedudukan yang lebih tinggi,
sekalipun banyak dalil yang menunjukkan keutamaan sifat-sifat kaya. Ia
menyatakan bahwa apabila manusia telah merasa cukup dari apa yang dibutuhkan
kemudian bergegas pada kebajikan, sehingga mencurahkan perhatian pada urusan
akhiratnya, adalah lebih baik bagi mereka. Dalam konteks ini, sifat-sifat fakir
diartikannya sebagai kondisi yang cukup (kifāyah), bukan kondisi papa
dan meminta-minta (kafāfah). Pada dasarnya, asy-Syaibani menyerukan agar
manusia hidup dalam kecukupan, baik untuk diri sendiri maupun keluarganya. Di
sisi lain, ia berpendapat bahwa sifat-sifat kaya berpotensi membawa pemiliknya hidup
dalam kemewahan. Sekalipun begitu, ia tidak menentang gaya hidup yang lebih
dari cukup selama kelebihan tersebut hanya dipergunakan untuk kebaikan.
vii. Yahya bin Adam Al-Qarashi (203 H/818 M)
Masa Abbasiyyah awal tampaknya telah
mengilhami banyak penulis untuk membahas keuangan publik. Dari beberapa karya
yang masih ada, beberapa telah mendapat perhatian dari para penulis baru-baru
ini, yaitu Kitab Al-Kharaj karya Yahya bin Adam.
viii. Abu Ubaid (224 H/828 M)
Pembahasan
Keuangan Publik Islam dalam karya Abu Ubaid, al-Amwāl, diawali dengan
judul “Hak pemimpin terhadap rakyatnya dan hak rakyat terhadap pemimpinnya”.
Menurutnya, jika kepentingan
individu berbenturan dengan kepentingan publik, maka kepentingan publik mesti
didahulukan.
Jika
isi kitab al-Amwāl dievaluasi dari sisi filosofi hukum, akan nampak
bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Bagi Abu Ubaid,
pelaksanaan dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan
keselarasan sosial.
Abu
Ubaid sangat menentang pendapat yang menyatakan bahwa pembagian harta zakat
harus dilakukan secara merata di antara 8 ashnāf dan cenderung
menentukan suatu batas tertinggi terhadap bagian perorangan. Bagi Abu Ubaid,
yang paling penting adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, seberapapun
besarnya, serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari bahaya kelaparan.
Namun pada saat yang bersamaan, Abu Ubaid tidak memberikan hak penerimaan zakat
kepada orang-orang yang memiliki 40 dirham atau 4 dinar (sekitar Rp. 9 juta)
atau harta lainnya yang setara. Di sisi lain, Abu Ubaid menganggap bahwa
seseorang yang memiliki 200 dirham atau 20 dinar (sekitar Rp. 46 juta) maka ia
terkena kewajiban membayar zakat. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan
Abu Ubaid ini mengindikasikan adanya 3 kelompok sosio-ekonomi yang terkait
dengan status zakat, yaitu; pertama, kalangan kaya yang terkena wajib
zakat (≥ 200 dirham atau ≥ 20 dinar, yaitu sekitar ≥ Rp. 46 juta); kedua,
kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat, tetapi juga tidak berhak
menerima zakat (40-200 dirham atau 4-20 dinar, yaitu antara sekitar Rp. 9 juta
– Rp. 46 juta); dan ketiga, kalangan penerima zakat (≤ 40 dirham atau 4
dinar, yaitu sekitar Rp. 9 juta).
ix.
Ahmad bin Hanbal (164-241
H/780-855 M)
Salah satu pendapat Imam Ahmad bin
Hanbal terkait dengan persoalan ekonomi adalah kecamannya terhadap pembelian
dari penjual yang menurunkan harga komoditi dalam rangka untuk menghalangi
orang untuk membeli komoditi yang sama dari pesaingnya. Dengan demikian,
penjual yang menurunkan harga komoditinya akhirnya bisa memonopoli komoditi
tersebut, karena telah menghilangkan persaingan dari penjual lain, dan kemudian
ia dapat mendikte harga sesukanya. Imam Ahmad ingin pemerintah turut campur
tangan menangani kasus tersebut untuk mencegah praktek monopoli dan hal-hal
yang tidak diinginkan.
x. Ibnu Miskawaih (421 H/1030 M)
Salah satu pandangan Ibnu Miskawaih
yang terkait dengan aktivitas ekonomi adalah tentang pertukaran dan peranan
uang. Lebih jauh, ia menegaskan bahwa logam yang dapat dijadikan sebagai mata
uang adalah logam yang dapat diterima secara universal melalui konvensi, yakni
tahan lama, mudah dibawa, tidak mudah rusak, dikehendaki orang dan orang senang
melihatnya.
xi.
Al-Mawardi (450 H/1058 M)
Abu Al-Hasan Al-Mawardi menulis Al-Ahkam
As-Sulthaniyyah, sebagai rujukan utama untuk masalah pengawasan pasar,
hubungan pertanian dan perpajakan.
xii. Ibnu Hazm (456 H/1064 M)
Abu Muhammad Ibnu Hazm adalah
seorang ahli hukum besar dengan pendekatan yang unik untuk hukum Islam, dan
menolak penalaran analogis (qiyas) serta istihsan. Ia adalah
satu-satunya ahli hukum besar yang menolak penyewaan lahan pertanian. Hal ini
menyisakan dua opsi untuk lahan tersebut, apakah digarap sendiri atau masuk ke
dalam pengaturan bagi hasil dengan penggarap atau pengolah.
xiii. Nizam Al-Mulk Ath-Thusi (408-485 H/1018-1093 M)
Nizam Al-Mulk menyadari sepenuhnya
mengenai 3 arah faktor-faktor kemakmuran, produktivitas dan efisiensi.
Mengamankan kesejahteraan dapat meningkatkan lebih besar produktivitas yang
diharapkan dan efisiensi.
Menurut Nizam Al-Mulk, stabilitas
nasional dapat dicapai dengan memastikan bahwa kebutuhan pokok masyarakat
dipenuhi secukupnya. Negara harus bisa menjamin ketersediaan pasokan yang cukup
selama terjadi serangan hama
atau gagal panen.
Nizam Al-Mulk menegaskan bahwa
persamaan hak dalam kesempatan melakukan kegiatan ekonomi adalah persyaratan
awal untuk mencapai persamaan sosial. Upaya ekonomi untuk mencapai tujuan ini
mencakup manajemen zakat yang efektif, bangunan pondok dan rumah untuk rakyat
miskin, dan tersedianya lapangan kerja bagi rakyat sesuai kapasitas dan
imbalannya.
Tentang pajak, Nizam Al-Mulk tidak
menyangkal bahwa sistem pajak yang baik menjadi basis keuangan yang sehat.
Walaupun demikian, ia percaya bahwa keuangan yang sehat bukanlah segala-galanya
untuk menghindari kesulitan nasional. Terkait dengan persoalan pajak tanah,
Nizam Al-Mulk merekomendasikan pembatalan dari pembebanan (charge) oleh
tuan tanah terhadap petani yang tidak dapat memenuhi kewajibannya membayar
pajak. Dalam pandangannya, tuan tanah hanyalah sebatas pengumpul pajak, bahkan
mereka tidak mempunyai hak untuk menetapkan jumlah pajak karena hal tersebut
merupakan hak mutlak pemerintah. Dalam hal ini, Nizam Al-Mulk ingin mengurangi
kekuasaan dan hak mutlak para tuan tanah, dan menjadikan pemerintah menjadi
lebih berkuasa.
b. Fase
Kedua.
Fase kedua yang dimulai pada abad ke-11
sampai dengan abad ke-15 Masehi dikenal sebagai fase cemerlang karena
meninggalkan warisan intelektual yang sangat kaya. Para cendekiawan muslim di masa ini mampu menyusun
suatu konsep tentang bagaimana umat melaksanakan kegiatan ekonomi yang
seharusnya berdasarkan landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di sisi lain, mereka
juga menghadapi realitas politik yang ditandai oleh dua hal; pertama,
disintegrasi pusat kekuasaan Bani Abbasiyyah dan terbaginya kerajaan ke dalam
beberapa kekuatan regional yang mayoritasnya didasarkan pada kekuatan ketimbang
kehendak rakyat; kedua, merebaknya tindakan korupsi di kalangan para
penguasa diiringi dengan dekadensi moral di kalangan masyarakat yang
mengakibatkan terjadinya ketimpangan sosial, sehingga terjadi gap
(jurang pemisah) antara orang kaya dan orang miskin.
Tokoh-tokoh
pemikir ekonomi Islam pada fase kedua ini antara lain diwakili oleh:
i. Al-Ghazali (451-505 H/1055-1111 M)
Nama
lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Pemikiran-pemikiran
ekonominya didasarkan pada pendekatan tasawwuf. Corak pemikirannya dituangkan
dalam kitab Ihyā’ ‘Ulūm Ad-Dīn, Al-Mustashfā’ fī ‘Ilmi Al-Ushūl
dan Mîzān Al-‘Amal. Pemikiran
sosio-ekonominya berakar dari sebuah konsep yang ia sebut “fungsi kesejahteraan
sosial Islami”. Menurutnya, kesejahteraan (maslahah) dari suatu
masyarakat tergantung pada pencarian dan pemeliharaan 5 tujuan dasar, yakni
agama (Ad-Dīn), jiwa (An-Nafs), akal (Al-‘Aql), keturunan
(An-Nasl) dan harta (Al-Māl). (dalam Ihyā’, juz 2). Ia mendefinisikan
aspek ekonomi dari fungsi kesejahteraan sosialnya dalam kerangka sebuah
hierarki utilitas individu dan sosial, yakni mulai dari pemenuhan kebutuhan
pokok (dharūriyyāt), kebutuhan biasa (hājiyyāt) dan kemewahan (tahsīniyyāt).
Al-Ghazali
memandang petumbuhan ekonomi sebagai bagian dari tugas-tugas kewajiban sosial (fardh
kifāyah) yang sudah ditetapkan Allah. Artinya, jika hal-hal ini tidak dipenuhi, kehidupan dunia akan runtuh dan
kemanusiaan akan binasa (dalam Ihyā’, juz 2). Ia menegaskan bahwa
aktivitas ekonomi harus dilakukan secara efisien karena merupakan bagian dari
pemenuhan tugas keagamaan seeorang (dalam Mizan Al-’Amal). Selanjutnya,
ia mengidentifikasi 3 alasan mengapa seseorang melakukan aktivitas-aktivitas
ekonomi, yaitu: Pertama, untuk mencukupi kebutuhan hidup yang
bersangkutan. Kedua, untuk mensejahterakan keluarga. Ketiga,
untuk membantu orang lain yang membutuhkan (dalam Mizan Al-’Amal). Ia menyatakan
bahwa pendapatan dan kekayaan seseorang berasal dari 3 sumber, yaitu pendapatan
tenaga individual, laba perdagangan, dan pendapatan karena nasib baik. Ia
mencontohkan dari sumber pendapatan yang ketiga adalah pendapatan melalui
warisan, menemukan harta karun atau mendapat hadiah. Namun ia menandaskan bahwa
seluruh sumber pendapatan tersebut harus diperoleh dengan cara yang halal.
Al-Ghazali
mengakui adanya tahapan produksi yang beragam sebelum produk tersebut
dikonsumsi. Tahapan dan keterkaitan produksi yang beragam mensyaratkan adanya
pembagian kerja, koordinasi dan kerja sama. Ia menguraikan argumen tahapan
produksi ini dengan menggunakan contoh jarum (dalam Ihyā’, juz 4),
senada dengan contoh pabrik penitinya Adam Smith kurang lebih 6 abad kemudian.
Al-Ghazali
menganggap kerja sebagai bagian dari ibadah seseorang. Bahkan secara khusus, ia
memandang bahwa produksi barang-barang kebutuhan dasar sebagai kewajiban sosial
(fardh kifāyah). Dalam hal ini, pada prinsipnya, negara harus
bertanggung jawab dalam menjamin kebutuhan masyarakat terhadap barang-barang
kebutuhan pokok. Di samping itu, ia beralasan bahwa ketidakseimbangan antara
jumlah barang kebutuhan pokok yang tersedia dengan yang dibutuhkan masyarakat
cenderung akan merusak kehidupan masyarakat.
Al-Ghazali
juga menganalisa hukum permintaan dan penawaran. Ia mengatakan bahwa jika
petani tidak mendapatkan pembeli bagi produk-produknya, maka ia akan menjualnya
pada harga yang sangat rendah.
Tentang
laba, Al-Ghazali menyatakan bahwa pengurangan marjin keuntungan dengan
mengurangi harga akan menyebabkan peningkatan penjualan, dan karenanya terjadi
peningkatan laba. Ia mengakui motivasi mencari laba dan sumber-sumbernya. Ia
menganggap laba sebagai imbalan atas risiko dan ketidakpastian, karena mereka
(pedagang dan pelaku bisnis) menanggung banyak kesulitan dalam mencari laba dan
mengambil risiko, serta membahayakan kehidupan mereka dalam kafilah-kafilah
dagang. Lebih jauh, ia menekankan bahwa penjual seharusnya didorong oleh “laba”
yang akan diperoleh dari pasar yang “hakiki”, yakni akhirat.
Tentang
teori evolusi pasar, Al-Ghazali mendeskripsikannya sebagai berikut: ”Setiap
penjual akan membutuhkan pembeli untuk membeli barang dagangannya. Namun ketika
penjual dan pembeli berada di tempat yang berbeda atau tidak berada pada satu
tempat, maka hal ini akan menimbulkan masalah. Oleh karena itulah, dibutuhkan
suatu tempat yang mempertemukan antara para penjual dan para pembeli, sehingga
masing-masing dari penjual dapat dengan mudah menemukan pembeli barang
dagangannya, demikian juga dengan pembeli dapat dengan mudah menemukan setiap
barang yang dibutuhkannya. Tempat inilah yang disebut dengan pasar. Sebagaimana
aliran fisiokratisme pada abad 17 Masehi, bagi al-Ghazali, pasar berevolusi
sebagai bagian dari “hukum alam”, yakni sebuah ekspresi hasrat yang timbul dari
diri sendiri untuk saling memuaskan kebutuhan ekonomi” (dalam Ihyā’,
juz 3).
Sedangkan
tentang teori evolusi uang, Al-Ghazali mendeskripsikannya sebagai berikut: ”Evolusi
uang terjadi hanya karena kesepakatan dan kebiasaan (konvensi), yakni tidak
akan ada masyarakat tanpa pertukaran barang dan tidak ada pertukaran yang
efektif tanpa ekuivalensi, dan ekuivalensi demikian hanya dapat ditentukan
dengan tepat bila ada ukuran yang sama”. Ia menyatakan bahwa tujuan
satu-satunya dari emas dan perak adalah untuk dipergunakan sebagai uang (dinar
dan dirham). Ia mengutuk mereka yang menimbun kepingan-kepingan uang atau
mengubahnya menjadi bentuk yang lain. Ia berkata: “Uang tidak diciptakan
untuk menghasilkan uang. Dinar dan dirham adalah alat untuk mendapatkan
barang-barang lainnya.” Pernyataannya ini menunjukkan bahwa meminjamkan
uang dengan mengambil keuntungan darinya (riba) adalah dilarang, sekaligus juga
memberikan isyarat tentang fungsi uang. Ia juga memperingatkan bahwa
memperdagangkan uang ibarat memenjarakan fungsi uang, jika banyak uang yang
diperdagangkan, niscaya tinggal sedikit uang yang dapat berfungsi sebagai uang.
Al-Ghazali pernah membolehkan peredaran uang yang tidak menggunakan emas dan
perak, dengan beberapa persyaratan. Di antaranya, pemerintah harus menyatakan
uang itu sebagai alat tukar resmi dan menjaga nilainya serta memastikan tidak
ada perdagangan uang.
ii. Al-Kasani (578 H/1182 M)
Abu Bakr bin Mas’ud Al-Kasani adalah
seorang ahli hukum Islam terkemuka Mazhab Hanafi yang menganalisis beberapa isu
ekonomi dalam karyanya Bada’i Ash-Shanā’i’. Diskusinya tentang pembagian
keuntungan dan liabilitas atas kerugian dalam kontrak mudharabah, jelas
dan tepat. Keuntungan dari modal yang diserahkan pada ukurannya terhadap risiko
dan ketidakpastian, membuat pemodal bertanggung jawab atas kerugian, jika
kerugiannya ada. Al-Kasani juga menjelaskan sifat sewa, ia mendefiniskan sewa
sebagai harga manfaat yang mengalir dari penggunaan barang-barang sewaan.
iii.
Najmuddin Ar-Razi (654 H/1256 M)
Najmuddin Ar-Razi adalah seorang
pemikir terkemuka abad ke-7 Hijriyyah. Ia menelusuri akibat buruk dari
penindasan dan pemerasan oleh petugas pajak dan tuan tanah. Menurutnya,
pertanian adalah perdagangan dengan Allah. Oleh karenanya, pertanian adalah
kegiatan ekonomi yang terbaik dari sektor industri dan sektor perdagangan jika
digarap dengan baik dan benar. Dengan demikian, pendapatnya ini mirip dengan
pendapat tokoh sebelumnya pada abad ke-2 Hijriyyah, yaitu Asy-Syaibani, dan
mirip dengan pendapat kaum Fisiokratis di kemudian hari pada abad ke-17 Masehi.
Selanjutnya, Ar-Razi kemudian meletakkan kode etik bagi para agen ekonomi
dengan menyebutkan hak dan kewajiban mereka, seperti tuan tanah, petani, dan
buruh upahan.
iv.
Nasiruddin Ath-Thusi (597-672
H/1201-1274 M)
Nasiruddin Ath-Thusi diakui
keahliannya dengan risalahnya tentang Keuangan Publik, yaitu Akhlaq-e-Nasiri
(Nasirian Ethics). Ia menyatakan bahwa spesialisasi dan pembagian tenaga
kerja (division of labour) telah menciptakan surplus ekonomi sehingga
memungkinkan terjadinya kerja sama dalam masyarakat untuk saling menyediakan
barang dan jasa kebutuhan hidup. Hal ini merupakan tuntunan alamiah sebab
seseorang tidak bisa menyediakan semua kebutuhannya sendiri sehingga menimbukan
ketergantungan satu dengan lainnya. Akan tetapi, jika proses ini dibiarkan
secara alamiah, kemungkinan manusia akan saling bertindak tidak adil dan
menuruti kepentingannya sendiri-sendiri. Orang yang kuat akan mengalahkan yang
lemah. Oleh karena itu, diperlukan suatu strategi (siyāsah) yang
mendorong manusia untuk saling bekerjasama dalam mencapai kesejahteraan
masyarakat.
Ath-Thusi sangat menekankan
pentingnya tabungan, dan mengutuk konsumsi yang berlebihan serta
pengeluaran-pengeluaran untuk aset-aset yang tidak produktif, seperti perhiasan
dan penimbunan tanah yang tidak ditanami. Ia memandang pentingnya pembangunan
pertanian sebagai fondasi pembangunan ekonomi secara keseluruhan dan untuk
menjamin kesejahteraan masyarakat. Ia juga merekomendasikan pengurangan pajak,
di mana berbagai pajak yang tidak sesuai dengan syari’at Islam harus dilarang.
v. Ibnu Taimiyyah (661-728 H/1263-1328 M)
Nama lengkapnya adalah Taqiyyuddin
Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalam bin Abdullah An-Namiri Al-Harrani. Ia
memiliki 3 teori keadilan dalam kegiatan ekonomi, yaitu upah yang adil, laba
yang adil dan harga yang adil. Tentang
upah yang adil, menurut Ibnu Taimiyyah, upah yang sepadan diatur dengan tingkat
upah yang ditentukan oleh tawar-menawar antara pekerja dengan pemberi kerja. Ia
menyatakan bahwa apabila terjadi ketidaksempurnaan dalam pasar (bursa) tenaga
kerja, di mana para pekerja menolak memberikan jasa atau tenaga mereka
sementara masyarakat sangat membutuhkannya, maka pemerintah harus menetapkan
upah para tenaga kerja, sehingga tidak merugikan masyarakat dan juga tenaga
kerja. Tujuan penetapan harga/upah ini adalah untuk menghindari tindakan
eksploitasi dari pihak majikan atau dari pihak pekerja. Pernyataannya ini
menunjukkan hukum penawaran dan permintaan tenaga kerja sehingga mempengaruhi
tingkat upah. Teori upah yang adil ini mirip dengan teori upah alami (natural
wage) dari David Ricardo empat abad kemudian.
Tentang
laba yang adil, secara tersirat Ibnu
Taimiyyah memandang laba sebagai penciptaan tenaga kerja dan modal secara
bersamaan. Ia mendefinisikan laba yang adil sebagai laba normal yang secara
umum diperoleh dari jenis perdagangan tertentu, tanpa merugikan orang lain.
Dalam hal ini, ia menyatakan bahwa para pedagang tidak boleh menarik keuntungan
dari pembeli yang tidak mengerti tentang harga umum yang berlaku di pasar dari
barang yang dibelinya. Selain itu, jika ada orang miskin yang sangat
membutuhkan untuk membeli beberapa barang guna memenuhi kebutuhan hidupnya,
maka penjual harus mengambil keuntungan yang sama dengan keuntungan yang ia
ambil dari pembeli yang lain yang tidak terlalu membutuhkan sebagaimana orang
miskin tersebut. Namun, pembeli tidak bisa seenaknya saja menetapkan harga atas
barang yang dibelinya. Oleh karena itulah, setiap orang dapat meminta regulasi
harga dari pemerintah.
Tentang harga yang adil, Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa “harga
yang sepadan adalah harga standar yang berlaku ketika masyarakat menjual
barang-barang dagangannya dan secara umum dapat diterima sebagai sesuatu yang
sepadan dengan barang-barang tersebut atau barang-barang yang serupa pada waktu
dan tempat yang khusus.” Di sini ia menjelaskan bahwa harga yang sepadan
adalah harga yang dibentuk oleh kekuatan pasar yang berjalan secara bebas,
yakni pertemuan antara kekuatan permintaan (demand) dengan penawaran (supply).
Tentang
mekanisme pasar, Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa “naik dan turunnya harga
tidak selalu diakibatkan oleh kebijakan para penguasa atau pihak-pihak
tertentu. Terkadang hal tersebut disebabkan oleh kekurangan produksi atau
penurunan impor barang-barang yang diminta.” Artinya, naik dan turunnya
harga ditentukan oleh pasar berdasarkan hukum permintaan dan penawaran. Namun
ketika permintaan (demand) meningkat sementara persediaan (supply)
tetap, maka harga akan mengalami kenaikan. Ia menyebut kenaikan harga terjadi
karena penurunan jumlah barang atau peningkatan jumlah penduduk. Penurunan
jumlah barang dapat disebut juga sebagai penurunan persediaan (supply),
sedangkan peningkatan jumlah penduduk dapat disebut juga sebagai naiknya permintaan
(demand). Suatu kenaikan harga yang disebabkan oleh penurunan supply
atau kenaikan demand dikategorikan sebagai kehendak Allah. Dalam hal
persediaan barang (supply), ia menyebutkan 2 sumber persediaan, yaitu
produksi lokal dan impor barang-barang yang diminta. Selanjutnya, Ibnu
Taimiyyah menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan serta konsekuensinya
terhadap harga, yaitu; keinginan masyarakat terhadap berbagai jenis barang yang
berbeda dan selalu berubah-ubah, jumlah peminat terhadap suatu barang, lemah
atau kuatnya kebutuhan terhadap suatu barang serta besar atau kecilnya tingkat
dan ukuran kebutuhan, besar atau kecilnya biaya yang harus dikeluarkan oleh
produsen atau penjual, dan tingkat kepercayaan penjual terhadap pembeli.
Ibnu
Taimiyyah juga membahas masalah regulasi harga. Tujuannya adalah untuk
menegakkan keadilan serta memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Penetapan harga
harus dilakukan oleh pemerintah ketika terjadi kekurangan bahan pokok di
tengah-tengah masyarakat, sehingga tidak terjadi monopoli harga dan barang-barang
kebutuhan pokok. Namun untuk membuat regulasi harga ini, pemerintah terlebih
dahulu harus bermusyawarah dengan masyarakat yang mengerti persoalan harga
bahan pokok yang berlaku.
Tentang uang, Ibnu Taimiyyah menyebutkan
2 fungsi uang, yaitu sebagai pengukur nilai dan media pertukaran. Ia juga
menyatakan bahwa volume uang yang beredar harus sesuai dengan proporsi jumlah
transaksi yang terjadi. Hal ini untuk menjamin harga yang adil. Ia menganggap
bahwa nilai intrinsik mata uang harus sesuai dengan daya beli di pasar. Ia
menyatakan bahwa penciptaan mata uang dengan nilai nominal yang lebih besar
dari pada nilai intrinsiknya, akan menyebabkan terjadinya penurunan nilai mata
uang serta menimbulkan inflasi dan perilaku pemalsuan mata uang.
vi.
Ibnu Al-Qayyim (691-751
H/1292-1350 M)
Ibnu Al-Qayyim, adalah seorang ahli
hukum Islam terkemuka dan pemikiran sosial. Ia banyak menguraikan pandangan
gurunya, Ibnu Taimiyyah, dan menunjukkan wawasan analitisnya dalam diskusi
tentang masalah ekonomi. Ibnu Al-Qayyim mengidentifikasi 2 fungsi utama uang,
yaitu sebagai alat tukar dan sebagai standar nilai. Ia juga mengobservasi
secara signifikan bahwa gangguan fungsi uang ini terjadi ketika orang mulai
mencari uang untuk kepentingan sendiri.
vii. Abu Ishaq Asy-Syathibi (790 H/1388 M)
Karya bersejarah Asy-Syathibi
tentang prinsip-prinsip hukum Islam, Al-Muwāfaqāt fī Ushūl Asy-Syarī’ah,
bukanlah sebuah risalah tentang ekonomi. Tapi ia mengklasifikasi 3 tingkatan
keinginan manusia, yaitu kebutuhan dasar (dharūriyyāt), kebutuhan biasa
(hājiyyāt), dan kemewahan (tahsīniyyāt). Ia mengelaborasi diskusi
tentang prinsip tindakan individu yang tidak dapat dibiarkan jika membahayakan
kepentingan orang lain. Penekanannya terhadap perlindungan dan penyebarluasan
kepentingan sosial sebagai tujuan dari hukum Islam, berimplikasi kuat terhadap
perekonomian Islam. Ia juga berpendirian secara realistis pada kompetensi
pemerintah Islam untuk memungut pajak selain yang ditentukan oleh syari’ah,
dalam kasus pajak tersebut memang dibutuhkan oleh negara.
viii. Ibnu Khaldun (732-808 H/1332-1404 M)
Nama lengkapnya adalah Abdurrahman
bin Muhammad bin Muhammad bin Khaldun Abu Zaid Waliyyuddin Al-Hadhrami. Karya
monumentalnya adalah al-Muqaddimah.
Bagi Ibnu Khaldun, produksi adalah aktivitas manusia yang diorganisasikan
secara sosial dan internasional. Menurutnya, faktor produksi yang utama adala
tenaga kerja manusia. Ia menyatakan bahwa “tenaga manusia sangat penting
untuk setiap akumulasi laba dan modal … Tanpa tenaga manusia, tidak ada hasil
yang akan dicapai, dan tidak ada hasil yang berguna.” Karena itu, manusia
harus melakukan produksi guna mencukupi kebutuhan hidupnya, dan produksi
berasal dari tenaga manusia. Selanjutnya, ia menegaskan bahwa produksi agregat
yang dihasilkan oleh manusia yang bekerja secara bersama-sama adalah lebih
besar dibandingkan dengan jumlah total produksi individu dari setiap orang yang
bekerja secara sendiri-sendiri, dan lebih besar dibandingkan dengan jumlah yang
dibutuhkan mereka untuk dapat tetap bertahan hidup. Ia menyatakan “apa yang
dicapai melalui kerja sama dari sekelompok manusia dapat memuaskan kebutuhan
kelompok berkali-kali lebih besar.” Teorinya tentang produksi agregat ini
merupakan embrio suatu teori perdagangan internasional. Dengan kegiatan
produksi yang dilakukan secara bersama-sama pada suatu daerah tertentu, maka
hasil produksinya dapat diekspor ke daerah lain yang membutuhkannya, sehingga
terjadilah perdagangan antar daerah.
Ibnu
Khaldun membagi jenis barang menjadi dua, yaitu barang kebutuhan pokok dan
barang mewah. Menurutnya, bila suatu kota berkembang dan selanjutnya
populasinya bertambah banyak, maka persediaan kebutuhan pokok akan mendapat
prioritas. Sedangkan untuk barang-barang mewah, permintaannya akan meningkat
sejalan dengan berkembangnya kota dan berubahnya gaya hidup. Akibatnya, harga
barang mewah meningkat. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun berkomentar bahwa memang
pada mulanya kemewahan dapat meningkatkan permintaan dan pendapatan sehingga
meningkatkan pembangunan dan memperkuat modal negara, namun hal demikian pada
gilirannya akan merusak moral dan melonggarkan batasan-batasan moral pada
belanja. Moderasi akan kehilangan akar dan digantikan dengan pola hidup
extravagansa. Rakyat akan cenderung mengumbar energi mereka pada barang-barang
mewah. Manakala mereka kesulitan untuk mendapatkan barang-barang ini lewat
cara-cara yang benar, mereka akan melakukan tindakan korupsi.
Ibnu
Khaldun menyatakan bahwa kekayaan (negara) tidak tumbuh manakala ditimbun dan
disimpan. Ia akan tumbuh dan berkembang manakala dibelanjakan untuk kepentingan
masyarakat, untuk diberikan kepada yang berhak, dan menghapuskan kesulitan.
Kekayaan (negara) juga bergantung kepada pembagian tenaga kerja (division of
labor) dan spesialisasi; makin besar tingkat spesialisasi, makin tinggi
pertumbuhan kekayaan. Selain itu, ia juga menyatakan bahwa kekayaan atau
kemakmuran suatu bangsa tidak ditentukan oleh jumlah uang dan asset atau Sumber
Daya Alam yang dimiliki bangsa tersebut, akan tetapi peradabanlah yang
menentukannya. “Peradaban yang besar menghasilkan laba yang besar karena
jumlah tenaga kerja yang banyak.” Jumlah tenaga kerja inilah yang
menghasilkan barang dan jasa yang pada gilirannya menghasilkan laba. Ia juga
mengatakan bahwa jatuh bangunnya suatu dinasti atau peradaban sangat tergantung
pada kesejahteraan atau kesulitan hidup manusia.
Tentang
teori nilai, Ibnu Khaldun mengukur nilai suatu produk sama dengan jumlah tenaga
kerja yang dikandungnya. Pendapatnya ini sangat mirip dengan teori nilai dari
Adam Smith tiga abad kemudian. Bagi Ibnu Khaldun, harga adalah hasil dari hukum
permintaan dan penawaran. Pengecualian satu-satunya dari hukum ini adalah uang
dinar dan dirham, yang menjadi standar moneter. Ia menjelaskan bahwa pemerintah
tidak perlu ikut campur tangan dalam menentukan harga selama mekanisme pasar
berjalan normal. Tapi bila mekanisme pasar tidak berjalan normal, maka
pemerintah disarankan melakukan kontrol harga. Selain itu, Ia menyatakan bahwa
pada awalnya, harga-harga akan cenderung menurun seiring dengan peningkatan
dalam pembangunan dan produksi. Namun, jika permintaan terus meningkat,
sementara penawaran tidak mampu berpacu dengannya, kelangkaan pun akan terjadi,
sehingga menimbulkan peningkatan dalam harga barang dan jasa. Akibatnya,
harga-harga kebutuhan pokok cenderung meningkat lebih cepat daripada harga
barang-barang mewah, dan harga-harga di perkotaan lebih cepat merangkak
daripada di pedesaan. Dan selanjutnya, ongkos tenaga kerja juga ikut naik
seiring dengan naiknya pajak. Hal ini menyebabkan pembangunan menjadi turun,
begitu juga dengan kemakmuran dan peradaban.
ix.
Al-Maqrizi (766-845 H/1364-1441 M)
Al-Maqrizi melakukan studi kasus
tentang uang dan kenaikan harga-harga yang terjadi secara periodik dalam
keadaan kelaparan dan kekeringan. Al-Maqrizi mengidentifikasi 3 sebab dari
peristiwa ini, yaitu korupsi dan administrasi yang buruk, beban pajak yang
berat terhadap para penggarap, dan kenaikan pasokan mata uang fulus.
Membahas penyebab ketiga, ia menekankan bahwa emas dan perak adalah
satu-satunya jenis uang yang dapat dijadikan sebagai standar nilai, dalam hal
sifatnya dan kesesuaiannya dengan syari;ah. Nilai emas dan perang jarang naik
dalam ukuran yang besar, meskipun nilai fulus melambung tinggi.
c. Fase
Ketiga.
Fase ketiga yang dimulai pada tahun
1446 hingga 1932 Masehi merupakan fase tertutupnya pintu ijtihad yang
mengakibatkan fase ini dikenal juga sebagai fase stagnasi. Pada fase ini, para ulama hanya menulis
catatan-catatan para pendahulunya dan mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan
aturan standar bagi masing-masing mazhab.
Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam
pada fase ini antara lain diwakili oleh:
i. Shah Waliullah Ad-Dahlawi (1114-1176 H/1703-1763 M)
Pada abad terakhir dari sejarah
Islam, kita mendapatkan penjelasan yang sangat jelas dari pemikiran ekonomi
Islam dalam karya-karya Shah Waliullah dari Delhi, terutama karyanya Hujjatullāh Al-Bālighah.
Meskipun ia membahas secara panjang lebar di sana, namun tidak ada upaya serius untuk
mempelajari filsafat ekonominya. Ia menganggap kesejahteraan ekonomi sangat
diperlukan untuk kehidupan yang baik. Dalam konteks ini, ia membahas kebutuhan
manusia, kepemilikan, sarana produksi, kebutuhan untuk bekerjasama dalam proses
produksi dan berbagai bentuk distribusi dan konsumsi. Ia juga menelusuri
evolusi masyarakat dari panggung primitif sederhana dengan budaya yang begitu
kompleks di masanya (di wilayah Delhi
dan sekitarnya selama masa-masa terakhir pemerintahan Mughal). Ia juga
menekankan bagaimana pemborosan dan kemewahan yang diumbar akan menyebabkan
peradaban menjadi merosot. Dalam diskusinya tentang sumber daya produktif, ia
menyoroti fakta bahwa hukum Islam telah menyatakan beberapa sumber daya alam
yang menjadi milik sosial. Ia mengutuk praktek monopoli dan pengambilan
keuntungan secara berlebihan dari lahan perekonomian. Ia menjadikan kejujuran
dan keadilan dalam bertransaksi sebagai prasyarat untuk mencapai kemakmuran dan
kemajuan.
Shah Waliullah membahas perlunya
pembagian dan spesialisasi kerja, kelemahan dari sistem barter, dan keuntungan
dari penggunaaan uang sebagai alat tukar dalam konteks evolusi masyarakat dari
primitif ke negara maju. Menurutnya, kerjasama telah membentuk satu-satunya
dasar hubungan ekonomi yang manusiawi dan Islami. Transaksi yang melibatkan
bunga memiliki pengaruh yang merusak. Praktek bunga menciptakan kecenderungan
untuk menyembah uang. Hal ini menyebabkan masyarakat berlomba-lomba dalam
memperoleh kemewahan dan kekayaan. Poin paling penting dari filsafat ekonominya
adalah bahwa sosial ekonomi memiliki pengaruh yang mendalam terhadap moralitas
sosial. Oleh karena itu, kejujuran moral diperlukan untuk membentuk tatanan ekonomi.
Shah Waliullah menganalisis bahwa
faktor utama yang menyebabkan menurunnya pendapatan adalah tingkat konsumsi
yang berlebihan dengan munculnya kelas kaya-miskin, dan meningkatnya beban
pajak atas orang-orang lemah. Analisis-analisis dari Shah Waliullah sangat memungkinkan
untuk dikaji lebih mendalam lagi dalam kerangka ekonomi Islam modern karena
kedekatan masa antar keduanya.
ii. Muhammad Abduh (1266-1323 H/1849-1905 M)
Muhammad Abduh menyatakan bahwa rus
Islam mewajibkan kepada pemerintah untuk ikut campur tangan dalam urusan
perekonomian, demi kemaslahatan publik, yaitu apakah dengan membangun pabrik
industri dan perusahaan, atau dengan menentukan harga barang perdagangan, atau
memberikan hak keadilan kepada para buruh dengan cara menaikkan gaji minimum
mereka, atau dengan cara mengurangi jam kerja mereka, atau dengan cara
kedua-duanya secara bersamaan.
Muhammad Abduh sangat mengecam
orang-orang yang bersantai dan bermalas-masalan, dengan kondisinya yang
pengangguran, bahkan terhadap orang-orang kaya yang bersantai dan
bermalas-malasan sekalipun, juga ikut dikecam olehnya. Ia mensinyalir bahwa
bagaimana mungkin orang kaya bisa bersantai, padahal santai mereka itulah
sebenarnya yang disebut santai yang pengangguran dan malas. Ia juga mengatakan,
“siapa yang tidak mencicipi lezatnya bekerja, maka ia tidak mencicipi lezatnya
hakikat waktu luang (hari libur). Karena Tuhan tidak menciptakan waktu luang
selain untuk pekerjaan.”
Muhammad Abduh juga sangat mengecam
perilaku zalim dalam ekonomi. Bahkan ia menganggapnya sebagai jenis kezaliman
yang paling kejam. Karenanya, orang kaya yang mencintai hartanya hingga mereka
kikir mengeluarkan hartanya demi kemaslahatan umum, maka mereka itu betul-betul
kafir (dalam arti kufur nikmat) meskipun mereka sendiri menyebut diri
mereka beriman.
Abduh mengingatkan akan bahaya yang menimpa masyarakat karena dominasi para
pemilik modal (kapitalis). Dalam hal ini, Abduh menganggap bahwa eksploitasi
harta melalui harta, atau menjadikan harta sebagai media untuk mendapatkan keuntungan
dengan cara mengeksploitasi kebutuhan orang lain, adalah termasuk faktor
mendasar yang menyebabkan riba diharamkan dalam Islam. Abduh
mengisyaratkan pernyataannya ini kepada bunga bank.
Muhammad Abduh setuju bahwa
kemiskinan seseorang itu memang sudah menjadi sunnatullah dalam
lingkungan masyarakat. Artinya, kemiskinan itu disebabkan oleh beberapa faktor,
di antaranya adalah karena faktor memang tidak mampu bekerja, atau karena gagal
berusaha, atau karena pengangguran dan malas, atau karena faktor rendahnya
pendidikan. Ia mengatakan, “jika kemiskinan seseorang memang sudah menjadi sunnatullah,
maka mengatasi kemiskinan itu pun juga harus dengan sunnatullah, begitu
juga halnya dengan kekayaan seseorang.” Maksudnya adalah mengatasi masalah
kemiskinan itu harus dengan mengatasi faktor-faktor penyebabnya. Begitu juga
jika seseorang ingin memperoleh kekayaan, maka ia harus berusaha dan bekerja
untuk memperolehnya.
Bagi Muhammad Abduh, ekonomi merupakan sikap moderat dalam
pengeluaran/belanja. Artinya, pemilik harta tidak boleh terlalu boros dalam
pengeluaran dan belanja, dan juga tidak boleh terlalu hemat atau terlalu pelit
mengeluarkan harta, tapi harus dipilah dan dipilih mana yang paling utama
kemudian diurut kepada hal yang lebih utama.
iii.
Muhammad Iqbal (1289-1357
H/1873-1938 M)
Sang “Penyair Dari Timur” ini memang
memiliki pemikiran yang berkisar tentang hal-hal teknis dalam ekonomi, tetapi
lebih pada konsep-konsep umum yang mendasar. Ia mencontohkan respon Islam
terhadap Kapitalisme Barat dan reaksi ekstrim Komunisme Uni Soviet, dengan
menggarisbawahi kelemahan dari kedua sistem tersebut, dan menampilkan sikap
yang lebih baik dengan mengambil jalan tengah sebagaimana yang telah disediakan
oleh Islam. Ia mengajak umat untuk berpegang teguh, dan tidak ragu mengambil
intisari dari pengalaman sejarah manusia. Menurutnya, semangat Kapitalisme,
yaitu memupuk modal dan materi sebagai nilai dasar sistem ini, bertentangan
dengan semangat Islam. Demikian pula, semangat komunisme yang banyak melakukan
pemaksaan kepada masyarakat, juga bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Iqbal sangat prihatin terhadap
petani, buruh dan masyarakat lemah lainnya. Ia menganggap semangat Kapitalis
yang eksploitatif menjadi asing bagi Islam. Ia menganggap bahwa pembentukan
keadilan sosial merupakan salah satu bagian dari tugas pemerintahan Islam, dan
memandang zakat sebagai potensi yang efektif untuk menciptakan masyarakat yang
adil.