Halaman

Minggu, 24 Februari 2013

Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer


PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM KONTEMPORER[1]
Oleh: Abdul Gafur[2]

            Pemikiran ekonomi Islam kontemporer ini merupakan buah pikiran dari para ekonom Muslim pada abad ke-20 Masehi. Jika dalam pemikiran ekonomi Islam klasik dibagi menjadi 3 fase, maka pemikiran ekonomi Islam kontemporer ini dibagi menjadi 3 aliran, yaitu aliran Iqtishādunā, aliran Mainstream, dan aliran Alternatif. Masing-masing dari ketiga aliran ini memiliki corak pemikiran yang berbeda-beda.

1. Aliran Iqtishādunā
            Corak utama dari aliran ini adalah pemikirannya tentang masalah ekonomi yang muncul karena adanya distribusi yang tidak merata dan tidak adil sebagai akibat dari sistem ekonomi yang membolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Yang kuat memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat kaya. Sementara yang lemah tidak memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat miskin. Karena itu, masalah ekonomi muncul bukan karena sumber daya yang tidak terbatas, tetapi karena keserakahan manusia yang tidak terbatas.
            Aliran ini menolak pernyataan yang menyatakan bahwa masalah ekonomi disebabkan oleh adanya keinginan manusia yang tak terbatas sementara sumber daya alam yang tersedia jumlahnya terbatas. Karena hal tersebut bertentangan dengan firman Allah: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Q.S. al-Qamar: 49).
            Aliran ini dipelopori oleh Baqir Sadr. Nama aliran ini pun diambil dari nama karyanya Iqtishādunā. Menurutnya, ekonomi Islam adalah cara atau jalan yang dipilih oleh Islam untuk dijalani dalam rangka mencapai kehidupan ekonominya dan dalam memecahkan masalah ekonomi praktis sejalan dengan konsepnya tentang keadilan. Baginya, Islam tidak mengurusi hukum permintaan dan penawaran ... (tidak pula) hubungan antara laba dan bunga bank ... (tidak pula) fenomena diminishing returns di dalam produksi, yang baginya merupakan ”ilmu ekonomi”. Jadi menurutnya, ekonomi Islam adalah doktrin karena ia membicarakan semua aturan dasar dalam kehidupan ekonomi dihubungkan dengan ideologinya mengenai keadilan sosial. Sebagai doktrin, sistem ekonomi Islam juga berhubungan dengan pertanyaan ”apa yang seharusnya” berdasarkan kepercayaan, hukum, konsep dan definisi yang diambil dari Al-Qur’an dan Hadits. Di dalam doktrin ekonomi Sadr, keadilan menempati posisi sentral, sehingga menjadi tolak ukur untuk menilai teori, kegiatan dan output ekonomi.

2. Aliran Mainstream
            Corak utama dari pemikiran aliran ini adalah kebalikan dari aliran Iqtishādunā dalam memandang masalah ekonomi. Menurut aliran ini, masalah ekonomi timbul memang dikarenakan kelangkaan (scarcity) Sumber Daya Alam sementara keinginan manusia tidak terbatas. Untuk itu, manusia diarahkan untuk melakukan prioritas dalam memenuhi segala kebutuhannya. Dan keputusan dalam menentukan skala prioritas tersebut tidak dapat dilakukan semaunya sendiri karena dalam Islam sudah ada rujukannya sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
            Aliran ini ditokohi oleh 4 tokoh utama, yaitu Muhammad Abdul Mannan, Muhammad Nejatullah Siddiqi, Syed Nawab Haidar Naqvi, dan Monzer Kahf.
a. Muhammad Abdul Mannan.
            Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karya-karyanya; Islamic Economics: Theory and Practice (1970) dan The Making of Islamic Economic Society (1984). Ia mendefinisikan ekonomi Islam sebagai “ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.” Ketika ekonomi Islam dihadapkan pada masalah ”kelangkaan”, maka bagi Mannan, sama saja artinya dengan kelangkaan dalam ekonomi Barat. Bedanya adalah pilihan individu terhadap alternatif penggunaan sumber daya, yang dipengaruhi oleh keyakinan terhadap nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, menurut Mannan, yang membedakan sistem ekonomi Islam dari sistem sosio-ekonomi lain adalah sifat motivasional yang mempengaruhi pola, struktur, arah dan komposisi produksi, distribusi dan konsumsi. Dengan demikian, tugas utama ekonomi Islam adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi asal-usul permintaan dan penawaran sehingga dimungkinkan untuk mengubah keduanya ke arah distribusi yang lebih adil.
b. Muhammad Nejatullah Siddiqi.
          Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karya-karyanya; The Economic Enterprise in Islam (1971) dan Some Aspects of The Islamic Economy (1978). Ia mendefinisikan ekonomi Islam sebagai “respon para pemikir muslim terhadap tantangan ekonomi yang dihadapi pada zaman mereka masing-masing. Dalam usaha ini, mereka dibantu oleh Qur’an dan Sunnah, baik sebagai dalil dan petunjuk maupun sebagai eksprimen.” Siddiqi menolak determinisme ekonomi Marx. Baginya, ekonomi Islam itu modern, memanfaatkan teknik produksi terbaik dan metode organisasi yang ada. Sifat Islamnya terletak pada basis hubungan antarmanusia, di samping pada sikap dan kebijakan-kebijakan sosial yang membentuk sistem tersebut. Ciri utama yang membedakan perekonomian Islam dan sistem-sistem ekonomi modern yang lain, menurutnya, adalah bahwa di dalam suatu kerangka Islam, kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi merupakan sarana untuk mencapai tujuan spritual dan moral. Oleh karena itu, ia mengusulkan modifikasi teori ekonomi Neo-Klasik konvensional dan peralatannya untuk mewujudkan perubahan dalam orientasi nilai, penataan kelembagaan dan tujuan yang dicapai.
c. Syed Nawab Haidar Naqvi.
            Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karyanya; Ethics and Economics: An Islamic Synthesis (1981). Ia mendefinisikan ekonomi Islam sebagai “perilaku muslim sebagai perwakilan dari ciri khas masyarakat muslim.” Ada 3 tema besar yang mendominasi pemikiran Naqvi dalam ekonomi Islam. Pertama, kegiatan ekonomi dilihat sebagai suatu subjek dari upaya manusia yang lebih luas untuk mewujudkan masyarakat yang adil berdasarkan pada prinsip etika ilahiyyah, yakni keadilan (Al-’Adl) dan kebajikan (Al-Ihsān). Menurutnya, hal itu berarti bahwa etika harus secara eksplisit mendominasi ekonomi dalam ekonomi Islam, dan faktor etika inilah yang membedakan sistem ekonomi Islam dari sistem ekonomi lainnya. Kedua, melalui prinsip Al-’Adl wa Al- Ihsān, ekonomi Islam memerlukan suatu bias yang melekat dalam kebijakan-kebijakan yang memihak kaum miskin dan lemah secara ekonomis. Bias tersebut mencerminkan penekanan Islam terhadap keadilan, yang ia terjemahkan sebagai egalitarianisme. Ini adalah suatu butir penting yang sering kali ia tekankan dalam tulisannya. Dan ketiga adalah diperlukannya suatu peran utama negara dalam kegiatan ekonomi. Negara tidak hanya berperan sebagai regulator kekuatan-kekuatan pasar dan penyedia (supplier) kebutuhan dasar, tetapi juga sebagai partisipan aktif dalam produksi dan distribusi, baik di pasar barang maupun faktor produksi, demikian pula negara berperan sebagai pengontrol sistem perbankan. Ia melihat negara Islam sebagai perwujudan atau penjelmaan amanah Allah tatkala ia meletakkan negara sebagai penyedia, penopang dan pendorong kegiatan ekonomi.
d. Monzer Kahf.
            Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karyanya; The Islamic Economy: Analytical of The Functioning of The Islamic Economic System (1978). Ia tidak mengusulkan suatu definisi ”formal” bagi ekonomi Islam, tetapi karena ilmu ekonomi berhubungan dengan perilaku manusia dalam hal produksi, distribusi dan konsumsi, maka ekonomi Islam, menurutnya, dapat dilihat sebagai sebuah cabang dari ilmu ekonomi yang dipelajari dengan berdasarkan paradigma (yakni aksioma, sistem nilai dan etika) Islam, sama dengan studi ekonomi Kapitalisme dan ekonomi Sosialisme. Dengan pandangannya ini, ia mencela kelompok-kelompok ekonom Islam tertentu. Ia menengarai suatu kelompok yang mencoba untuk menekankan dengan terlalu keras perbedaan antara ekonomi Islam dan Barat. Kelompok itu tidak memahami bahwa perbedaan antara keduanya sebenarnya terletak pada filosofi dan prinsipnya, bukan pada metode yang digunakan. Di pihak lain, terdapat juga kelompok lain yang secara implisit menerima asumsi-asumsi ekonomi Barat yang sarat nilai. Kelompok lain yang ia tegur adalah mereka yang mecoba menyamakan antara ekonomi Islam dan Fiqih Mu’amalat. Kelompok ini, menurutnya, telah menyempitkan ekonomi Islam sehingga hanya berisi sekumpulan perintah dan larangan saja, padalah seharusnya mereka membicarakan hal-hal seperti teori konsumsi atau teori produksi. Semua kelompok tersebut tidak memahami posisi ekonomi Islam dalam kerangka atau kategorisasi cabang ilmu pengetahuan serta tidak pula bisa memisah-misahkan berbagai seginya seperti filosofinya, prinsip atau aksiomanya, serta fungsi aktualnya.

3. Aliran Alternatif
            Aliran ini dikenal sebagai aliran yang kritis secara ilmiah terhadap ekonomi Islam, baik sebagai ilmu maupun sebagai peradaban. Aliran ini mengkritik kedua aliran sebelumnya. Aliran Iqtishādunā dikritik karena dianggap berusaha menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya sudah ditemukan tokoh-tokoh sebelumnya, sedangkan aliran Mainstream dikritik sebagai jiplakan ekonomi aliran Neo-Klasik dan Keynesian dengan menghilangkan unsur riba serta memasukkan variabel zakat dan akad, sehingga tidak ada yang orisinil dari aliran ini. Namun aliran ini tidak hanya mengkritik ekonomi Islam saja, ekonomi konvensional pun juga telah dikritik.
            Tokoh-tokoh aliran ini adalah Timur Kuran, Sohrab Behdad, dan Abdullah Saeed.
a. Timur Kuran.
            Ia adalah seorang dosen ekonomi di Southern California University, USA. Pemikirannya bisa ditemukan dalam tulisan artikel-artikelnya, yaitu; “The Economyc System in Contemporary Islamic Thought: Interpretation and Assessment”, dalam International Journal of Middle East Studies Volume 18 tahun 1986, dan “On The Notion of Economic Justice in Contemporary Islamic Thought”, dalam International Journal of Middle East Studies Volume 21 tahun 1989.
b. Sohrab Behdad.
            Pemikirannya dapat ditemukan dalam tulisan artikelnya yang berjudul “Property Rights in Contemporary Islamic Economic Thought: A Critical Perspective” dalam jurnal Review of Social Economy Volume 47 tahun 1989.
c. Abdullah Saeed.
            Ia adalah seorang Profesor Studi Arab-Islam di University of Melbourne, Australia. Pemikirannya bisa ditemukan dalam tulisan artikel-artikelnya, yaitu; “Islamic Banking in Practice: A Critical Look at The Murabaha Financing Mechanism” dalam Journal of Arabic, Islamic & Middle Eastern Studies tahun 1993, dan “The Moral Context of The Prohibition of Riba in Islam Revisited” dalam American Journal of Islamic Social Science tahun 1995.


                [1] Materi ini disampaikan dalam kegiatan Pembekalan Kelompok Studi Ekonomi Islam (KSEI) Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, tanggal 24 Februari 2013.
                [2] Dosen Pemikiran Ekonomi Islam, Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin.

Sabtu, 23 Februari 2013

Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Klasik


SEJARAH PERADABAN EKONOMI ISLAM KLASIK[1]
Oleh: Abdul Gafur[2]

A. Sistem Ekonomi Pada Masa Rasulullah Saw (1-11 H/621-632 M)
1. Latar Belakang.
            Sebelum Islam datang, situasi kota Yatsrib sangat tidak menentu karena tidak mempunyai pemimpin yang berdaulat secara penuh. Hukum dan pemerintahan di kota ini tidak pernah berdiri dengan tegak dan masyarakat dengan senantiasa hidup dalam ketidakpastian. Aus dan Khazraj yang merupakan dua kabilah terbesar di kota Yatsrib senantiasa terlibat dalam pertikaian untuk memperebutkan kekuasaan. Mereka juga berjanji akan selalu menjaga keselamatan diri Nabi dan para pengikutnya serta ikut memelihara dan mengembangkan ajaran Islam.
            Atas kedua bai‘at tersebut dan setelah mendapat perintah Allah Swt serta melihat fakta bahwa Islam mengalami tantangan dan rintangan yang sangat berat dari kaum kafir Quraisy selama 13 tahun sejak wahyu pertama diturunkan, Nabi Muhammad Saw berhijrah dari kota Makkah ke kota Yatsrib. Sesuai dengan perjanjian, di kota yang bertanar subur ini, Rasulullah Saw disambut dengan hangat serta diangkat sebagai pemimpin penduduk kota Yatsrib. Sejak saat itu, kota Yatsrib berubah nama menjadi kota Madinah.
            Berbeda halnya dengan kota Makkah, Islam menjadi kekuatan politik pada periode Madinah. Dalam jangka waktu yang relatif singkat, Rasulullah Saw telah menjadi pemimpin sebuah komunitas kecil yang jumlahnya terus meningkat dari waktu ke waktu. Rasulullah pun menjadi pemimpin bangsa Madinah. Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat (mu’amalah) banyak turun di kota ini. Dengan demikian, pada periode Madinah, Nabi Muhammad Saw mempunyai kedudukan sebagai kepala negara di samping pemimpin agama. Dengan kata lain, dalam diri Nabi Muhammad Saw terkumpul 2 power sekaligus, power spritual dan power kenegaraan.
            Setelah diangkat sebagai kepala negara, Rasulullah Saw segera melakukan perubahan drastis dalam menata kehidupan masyarakat Madinah. Hal utama yang dilakukan Rasulullah Saw adalah membangun sebuah kehidupan sosial, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, institusi, maupun pemerintahan, yang bersih dari berbagai tradisi, ritual, dan norma yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam. Seluruh aspek kehidupan masyarakat disusun berdasarkan nilai-nilai Qur’ani, seperti persaudaraan, persamaan, kebebasan dan keadilan.
kebebasan dan keadilan.
            Madinah merupakan negara yang baru terbentuk yang tidak memiliki harta warisan sedikit pun. Hal ini merupakan implikasi nyata dari kehidupan masyarakat Madinah di masa lalu yang selalu dihiasi oleh berbagai peperangan antar suku yang tidak pernah berhenti, hingga Islam hadir di tengah-tengah mereka. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kondisi masyarakat Madinah masih sangat tidak menentu dan memprihatinkan yang mengindikasikan bahwa negara tidak dapat dimobilisasi dalam waktu dekat. Oleh karena itu, Rasulullah harus memikirkan jalan untuk mengubah keadaan secara perlahan-lahan dengan mengatasi berbagai masalah utama tanpa tergantung pada faktor keuangan. Dalam hal ini, strategi yang dilakukan oleh Rasulullah adalah dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
  1. Membangun Mesjid.
            Setibanya di kota Madinah, tugas pertama yang dilakukan oleh Rasulullah Saw adalah mendirikan mesjid yang merupakan asas utama dan terpenting dalam pembentukan masyarakat Muslim. Rasulullah menyadari bahwa komitmen terhadap sistem, akidah, dan tatanan Islam baru akan tumbuh dan berkembang dari kehidupan sosial yang dijiwai oleh semangat yang lahir dari aktivitas mesjid. Di tempat ini, kaum Muslimin akan sering bertemu dan berkomunikasi, sehingga tali ukhuwwah dan mahabbah semakin terjalin kuat dan kokoh.
            Selain menjadi tempat ibadah, mesjid yang kemudian hari dikenal sebagai Mesjid Nabawi ini juga berfungsi sebagai Islamic Centre. Seluruh aktivitas kaum Muslimin dipusatkan di tempat ini mulai dari tempat pertemuan para anggota parlemen, sekretariat negara, mahkamah agung, markas besar tentara, pusat pendidikan dan pelatihan para juru dakwah, hingga bait al-māl. Dengan fungsi mesjid yang sedemikian beragam tersebut, Rasulullah Saw berhasil menghindari pengeluaran yang terlalu besar untuk pembangunan infrastruktur bagi Negara Madinah yang baru terbentuk.
  1. Merehabilitasi Kaum Muhajirin.
            Setelah mendirikan mesjid, tugas berikutnya yang dilakukan oleh Rasulullah Saw adalah memperbaiki tingkat sosial dan ekonomi kaum Muhajirin. Kaum Muslimin yang melakukan hijrah pada masa ini berjumlah sekitar 150 keluarga, baik yang sudah tiba di Madinah mau pun yang masih dalam perjalanan, dan berada dalam kondisi yang memprihatinkan karena hanya membawa sedikit perbekalan.
            Di kota Madinah, sumber mata pencaharian mereka hanya bergantung pada bidang pertanian dan pemerintah belum mempunyai kemampuan untuk memberikan bantuan keuangan kepada mereka. Menerapkan kebijakan yang sangat arif dan bijaksana, yakni dengan cara menanamkan tali persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Dalam hal ini, Rasulullah Saw membuat suatu bentuk persaudaraan baru, yakni persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan darah.
  1. Membuat Konstitusi Negara.
            Setelah mendirikan mesjid dan mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar, tugas berikutnya yang dilakukan Rasulullah Saw adalah menyusun Konstitusi Negara yang menyatakan tentang kedaulatan Madinah sebagai sebuah negara. Dalam konstitusi Negara Madinah ini, pemerintah menegaskan tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara, baik Muslim maupun Non-Muslim, serta sistem pertahanan dan keamanan negara. Sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, setiap orang dilarang melakukan berbagai aktivitas yang dapat mengganggu stabilitas kehidupan manusia dan alam.
  1. Meletakkan Dasar-Dasar Sistem Keuangan Negara.
            Setelah melakukan berbagai upaya stabilisasi di bidang sosial, politik serta pertahanan dan keamanan negara, Rasulullah meletakkan dasar-dasar sistem keuangan negara sesuai dengan ketentuan-ketentuan Al-Qur’an. Seluruh paradigma berpikir di bidang ekonomi serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dihapus dan digantikan dengan paradigma baru yang sesuai dengan nilai-nilai Qur’ani, yakni persaudaraan, persamaan, kebebasan dan keadilan.
2. Sistem Ekonomi.
            Madinah merupakan negara yang baru terbentuk dengan kemampuan daya mobilitas yang sangat rendah dari sisi ekonomi. Oleh karena itu, peletakan dasar-dasar sistem keuangan negara yang dilakukan oleh Rasulullah Saw merupakan langkah yang sangat signifikan, sekaligus brilian dan spektakuler pada masa itu, sehingga Islam sebagai sebuah agama dan negara berkembang dengan pesat dalam jangka waktu yang relatif singkat.
            Sistem ekonomi yang diterapkan oleh Rasulullah Saw berakar dari prinsip-prinsip Qur’ani. Al-Qur’an yang merupakan sumber utama ajaran Islam telah menetapkan berbagai aturan sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam melakuktan aktivitas di setiap aspek kehidupannya, termasuk di bidang ekonomi. Prinsip Islam yang paling mendasar adalah kekuasaan tertinggi hanya milik Allah semata dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Hal ini merupakan suatu anugerah, rahmat serta kasih sayang Allah Swt yang sangat besar terhadap umat manusia.
            Dalam rangka mengemban amanah sebagai khalifah-Nya, manusia diberi kebebasan untuk mencari nafkah sesuai dengan hukum yang berlaku serta dengan cara yang adil. Islam tidak membatasi kepemilikan pribadi, alat-alat produksi, barang dagangan atau pun perdagangan, tetapi hanya melarang perolehan kekayaan melalui cara-cara yang ilegal atau tidak bermoral.
            Allah Swt telah menetapkan melalui sunnah-Nya bahwa jenis pekerjaan atau usaha apa pun yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip Qur’ani tidak akan pernah menjadikan seseorang kaya raya dalam jangka waktu yang singkat. Oleh karena itu, setiap aktivitas ekonomi yang dapat mendatangkan uang dalam jangka waktu yang singkat, seperti perjudian, penimbunan kekayaan, penyelundupan, pasar gelap, spekulasi, korupsi, bunga dan riba, bukan saja tidak sesuai dengan hukum alam dan dilarang, tapi juga para pelakunya layak dihukum.
            Berdasarkan pandangannya yang paling prinsip tentang status manusia di muka bumi, Islam dengan tegas dan keras melarang segala bentuk praktek ribawi atau bunga uang. Berbagai pemikiran yang menyatakan bahwa pendapatan yang diperoleh dengan cara-cara ribawi adalah sah, jelas merupakan pendapat yang keliru dan menyesatkan karena praktek-praktek ribawi merupakan bentuk eksploitasi yang nyata. Islam melarang eksploitasi dalam bentuk apa pun, apakah itu dilakukan oleh orang-orang kaya terhadap orang-orang miskin, oleh penjual terhadap pembeli, oleh majikan terhadap budaknya, oleh laki-laki terhadap wanita, atau oleh atasan terhadap bawahannya.
            Kata riba dalam ayat-ayat Al-Qur’an digunakan sebagai terjemahan dari bunga uang yang tinggi. Terminologi dan sistem ini telah dikenal pada masa Jahiliyyah dan periode awal Islam, yakni sebagai bunga uang yang sangat tinggi yang dikenakan terhadap modal pokok. Jika ayat-ayat yang melarang berbagai praktek ribawi ditelaah lebih dalam dan komprehensif, terlihat jelas bahwa Islam sangat menentang keras setiap praktek ribawi, baik dalam jumlah yang sangat tinggi atau pun rendah. Pernyataan orang-orang kafir bahwa berdagang adalah sama dengan riba ditentang oleh Al-Qur’an, bahkan para pelakunya diancam dengan siksaan yang sangat pedih di akhirat kelak.
            Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan beberapa prinsip pokok tentang kebijakan ekonomi Islam yang dijelaskan Al-Qur’an sebagai berikut:
  1. Allah Swt adalah penguasa tertinggi sekaligus pemilik absolut seluruh alam semesta.
  2. Manusia hanyalah khalifah Allah Swt di muka bumi, bukan pemilik yang sebenarnya.
  3. Semua yang dimiliki dan didapatkan manusia adalah atas rahmat Allah Swt. Oleh karena itu, manusia yang kurang beruntung mempunyai hak atas sebagian kekayaan yang dimiliki saudaranya.
  4. Kekayaan harus berputar dan tidak boleh ditimbun.
  5. Eksploitasi ekonomi dalam segala bentuknya, termasuk riba, harus dihilangkan.
  6. Menerapkan sistem warisan sebagai media redistribusi kekayaan yang dapat mengeliminasi berbagai konflik individu.
  7. Menetapkan berbagai bentuk sedekah, baik yang bersifat wajib maupun sukarela, terhadap para individu yang memiliki harta kekayaan yang banyak untuk membantu para anggota masyarakat yang tidak mampu.

3. Keuangan dan Pajak.
a. Sumber-Sumber Pendapatan Negara.
            Surah Al-Anfāl (rampasan perang) pada tahun ke-2 Hijriyyah. Dalam ayat ini, Allah Swt menentukan tata cara pembagian harga ghanimah dengan formulasi sebagai berikut:
      i.      Seperlima bagian untuk Allah dan Rasul-Nya (seperti untuk negara yang dialokasikan bagi kesejahteraan umum), dan untuk para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan para musafir. Bagian seperlima ini dikenal dengan istilah khums. Pada umumnya, Rasulullah Saw membagi khums menjadi 3 bagian; pertama untuk dirinya dan keluarganya, kedua; untuk kerabatnya, dan ketiga; untuk anak-anak yatim, orang-orang miskin dan para musafir.
    ii.      Empat perlima bagian lainnya dibagikan kepada para anggota pasukan yang terlibat dalam peperangan (pada kasus tertentu, beberapa orang yang tidak terlibat dalam peperangan juga memperoleh bagian). Penunggang kuda memperoleh 2 bagian, yakni untuk dirinya sendiri dan untuk kudanya. Yang berhak memperoleh bagian adalah hanya tentara laki-laki, sedangkan wanita yang hadir untuk membantu beberapa hal tidak berhak memperoleh bagian dari rampasan perang.
            Pada tahun ke-2 Hijriyyah, Allah Swt mewajibkan kaum Muslimin menunaikan zakat fitrah pada setiap bulan Ramadhan. Besar zakat ini adalah 1 sha’ kurma, tepung, keju lembut, atau kismis; atau setengah sha’ gandum, untuk setiap Muslim, baik budak atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, muda atau tua, serta dibayarkan sebelum pelaksanaan shalat Id. Setelah kondisi perekonomian kaum Muslimin stabil, tahap selanjutnya Allah Swt mewajibkan zakat māl pada tahun ke-9 Hijriyyah.
            Pada masa pemerintahannya, Rasulullah Saw menerapkan jizyah, yakni pajak yang dibebankan kepada orang-orang non-Muslim, khususnya Ahli Kitab, sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta milik, kebebasan menjalankan ibadah, serta pengecualian dari wajib militer. Besarnya jizyah adalah 1 dinar/tahun untuk setiap laki-laki dewasa yang mampu membayarnya. Perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orang tua, penderita sakit jiwa, dan semua yang menderita penyakit dibebaskan dari kewajiban ini.
            Pada masa Rasulullah Saw, zakat dikenakan pada hal-hal berikut:
      i.      Benda logam yang terbuat dari emas, seperti koin, perkakas, perhiasan atau dalam bentuk lainnya.
    ii.      Benda logam yang terbuat dari perak, seperti koin, perkakas, perhiasan atau dalam bentuk lainnya.
  iii.      Binatang ternak, seperti unta, sapi, domba dan kambing.
  iv.      Berbagai jenis barang dagangan, seperti budak dan hewan.
    v.      Hasil pertanian, seperti buah-buahan.
  vi.      Luqaţah, harta benda yang ditinggalkan musuh.
vii.      Barang temuan.
            Data sejarah menunjukkan bahwa jumlah total pendapatan negara pada masa Rasulullah Saw tidak dapat diketahui. Menurut para sejarawan Muslim, hal ini disebabkan beberapa alasan, yaitu:
      i.      Jumlah kaum Muslimin yang bisa membaca sedikit, dan dari jumlah ini, orang yang dapat menulis atau mengenal aritmatika sederhana berjumlah lebih sedikit lagi.
    ii.      Sebagian besar pendapatan bernilai setara dan didistribusikan atau diberikan dalam bentuk yang sama.
  iii.      Sebagain besar pendapatan zakat hanya didistribusikan secara lokal.
  iv.      Bukti-bukti penerimaan dari berbagai daerah yang berbeda tidak umum digunakan.
    v.      Pada kebanyakan kasus, harta ghanimah didistribusikan berselang tidak lama setelah terjadi peperangan tertentu.

b. Sumber-Sumber Pengeluaran Negara.
            Catatan mengenai pengeluaran secara rinci pada masa pemerintahan Rasulullah Saw juga tidak tersedia. Namun demikian, hal ini tidak berarti menimbulkan kesimpulan bahwa sistem keuangan yang ada pada masa itu tidak berjalan dengan baik dan benar. Rasulullah senantian memberikan perintah yang jelas dan tegas kepada para petugas yang sudah terlatih mengumpulkan zakat. Dalam kebanyakan kasus, beliau menyerahkan pencatatan penerimaan zakat kepada masing-masing petugas. Setiap perlindungan yang ada disimpan dan diperiksa sendiri oleh Rasulullah, dan setiap hadiah yang diterima oleh para pengumpul zakat akan disita, seperti yang terjadi pada kasus Al-Lutbigha, pengumpul zakat dari Bani Salim. Berkaitan dengan pengumpulan zakat ini, Rasulullah sangat menaruh perhatian terhadap zakat harta, terutama zakat unta.
            Orang Urania pernah diberi hukuman berat karena mencuri zakat unta. Hasil pengumpulan kharaj dan jizyah didistribusikan melalui suatu daftar pembayaran yang berisi nama-nama orang yang berhak menerimanya. Masing-masing menerima bagian sesuai dengan kondisi materialnya, orang yang sudah menikah memperoleh bagian dua kali lebih besar daripada orang yang belum menikah.

4. Bait al-Māl.
            Sebelum Islam hadir di tengah-tengah umat manusia, pemerintahan suatu negara dipandang sebagai satu-satunya penguasa kekayaan dan perbendaharaan negara. Dengan demikian, pemerintah bebas mengambil harta kekayaan rakyatnya sebanyak mungkin serta membelanjakannya sesuka hati. Hal ini berarti, sebelum Islam datang, tidak ada konsep tentang keuangan publik dan perbendaharaan negara di dunia.
            Dalam negara Islam, tampuk kekuasaan dipandang sebagai sebuah amanah yang harus dilaksanakan sesuai perintah Al-Qur’an. Hal ini telah dipraktekkan oleh Rasulullah Saw sebagai seorang kepala negara secara baik dan benar. Beliau tidak menganggap dirinya sebagai seorang raja atau pemerintah dari suatu negara tetapi sebagai orang yang diberikan amanah untuk mengatur urusan negara.
            Namun, tidak disebutkan adanya seorang bendaharawan negara. Kondisi seperti ini hanya mungkin terjadi di lingkungan yang mempunyai sistem pengawasan yang ketat. Pada perkembangan berikutnya, institusi ini memainkan peran yang sangat penting dalam bidang keuangan dan administrasi negara, terutama pada masa pemerintahan Al-Khulafa Ar-Rasyidun.

B. Sistem Ekonomi Pada Masa Pemerintahan Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun (11-40 H/632-661 M).
1. Sistem Ekonomi Pada Masa Pemerintahan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq (11-13 H/632-634 M).
            Setelah Rasulullah Saw wafat, Abu Bakar Ash-Shiddiq yang bernama lengkap Abdullah bin Abu Quhafah At-Tamimi terpilih sebagai khalifah Islam yang pertama. Ia merupakan pemimpin agama sekaligus kepala negara kaum Muslimin. Pada masa pemerintahannya yang hanya berlangsung 2 tahun, Abu Bakar Ash-Shiddiq banyak menghadapi persoalan dalam negeri yang berasal dari kelompok murtad, nabi palsu, dan pembangkang zakat. Berdasarkan hasil musyawarah dengan para sahabat yang lain, ia memutuskan untuk memerangi kelompok tersebut melalui apa yang disebut sebagai perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Setelah berhasil menyelesaikan urusan dalam negeri, Abu Bakar mulai melakukan ekspansi ke wilayah utara untuk menghadapi pasukan Romawi dan Persia yang selalu mengancam kedudukan umat Islam. Namun, ia meninggal dunia sebelum misi ini selesai dilakukan.
            Dengan demikian, selama pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, harta Bait Al-Māl tidak pernah menumpuk dalam jangka waktu yang lama karena langsung didistribusikan kepada seluruh kaum Muslimin, bahkan ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq wafat, hanya ditemukan 1 dirham dalam perbendaharaan negara. Seluruh kaum Muslimin diberikan bagian yang sama dari hasil pendapatan negara. Apabila pendapatan meningkat, seluruh kaum Muslimin mendapat manfaat yang sama dan tidak ada seorang pun yang dibiarkan dalam kemiskinan. Kebijakan tersebut berimplikasi pada peningkatan aggregate demand dan aggregate supply yang pada akhirnya akan menaikkan total pendapatan nasional, di samping memperkecil jurang pemisah antara orang-orang yang kaya dengan yang miskin.

2. Sistem Ekonomi Pada Masa Pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M).
            Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama 10 tahun, Umar bin Khattab banyak melakukan ekspansi hingga wilayah Islam meliputi Jazirah Arab, sebagian wilayah kekuasaan Romawi (Syria, Palestian dan Mesir), serta seluruh wilayah kerajaan Persia, termasuk Irak. Atas keberhasilannya tersebut, orang-orang Barat menjuluki Umar sebagai The Saint Paul of Islam.
            Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar bin Khattab segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh Persia. Administrasi pemerintah diatur menjadi delapan wilayah provinsi, yaitu Makkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina dan Mesir. Ia juga membentuk jawatan kepolisian dan jawatan tenaga kerja.
a. Pendirian Lembaga Bait Al-Māl.
            Dalam catatan sejarah, pembangunan institusi Bait Al-Māl dilatarbelakangi oleh kedatangan Abu Hurairah yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Bahrain dengan membawa harta hasil pengumpulan pajak kharaj sebesar 500.000 dirham (sekitar Rp. 35 M). Hal ini terjadi pada tahun 16 H. Oleh karena jumlah tersebut sangat besar, Khalifah Umar mengambil inisiatif memanggil dan mengajak para sahabat terkemuka untuk bermusayawarah tentang penggunaan dana Bait Al-Māl tersebut. Setelah melalui diskusi yang cukup panjang, Khalifah Umar memutuskan untuk tidak mendistribusikan harta Bait Al-Māl, tetapi disimpan sebagai cadangan, baik untuk keperluan darurat, pembayaran gaji para tentara maupun berbagai kebutuhan umat lainnya.
            Khalifah Umar bin Khattab juga membuat ketentuan bahwa pihak ekskutif tidak boleh turut campur dalam mengelola harta Bait Al-Māl. Di tingkat provinsi, pejabat yang bertanggungjawab terhadap harta umat tidak bergantung kepada gubernur, dan mereka mempunyai otoritas penuh dalam melaksanakan tugasnya serta bertanggungjawab langsung kepada pemerintah pusat.
            Untuk mendistribusikan harta Bait Al-Māl, Khalifah Umar bin Khattab mendirikan beberapa departemen yang dianggap perlu, seperti:
      i.      Departemen Pelayanan Militer. Departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan.
    ii.      Departemen Kehakiman dan Ekskutif. Bertanggungjawab atas pembayaran gaji para hakim dan pejabat ekskutif.
  iii.      Departemen Pendidikan dan Pengembangan Islam. Departemen ini mendistribusikan bantuan dana bagi penyebar dan pengembang ajaran Islam beserta keluarganya, seperti guru dan juru dakwah.
  iv.      Departemen Jaminan Sosial. Berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada seluruh fakir miskin dan orang-orang yang menderita.

b. Kepemilikan Tanah.
            Selama pemerintahan Khalifah Umar, wilayah kekuasaan Islam semakin luas seiring dengan banyaknya daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan, baik melalui peperangan maupun secara damai. Hal ini menimbulkan berbagai permasalahan baru. Pertanyaan yang paling mendasar dan utama adalah kebijakan apa yang akan diterapkan negara terhadap kepemilikan tanah-tanah yang berhasil ditaklukkan tersebut. Para tentara dan beberapa sahabat terkemuka menuntut agar tanah hasil taklukan tersebut dibagikan kepada mereka yang terlibat dalam peperangan. Sementara sebagian kaum Muslimin yang lain menolak pendapat tersebut. Muadz bin Jabal, salah seorang di antara mereka yang menolak, mengatakan, “Apabila engkau membagikan tanah tersebut, hasilnya tidak akan menggembirakan. Bagian yang bagus akan menjadi milik mereka yang tidak lama akan meninggal dunia dan keseluruhannya akan menjadi milik seorang saja.”
            Mayoritas sumber pemasukan pajak kharaj berasal dari daerah-daerah bekas kerajaan Romawi dan Sasanid (Persia) dan hal ini membutuhkan suatu sistem administrasi yang terperinci untuk penaksiran, pengumpulan, dan pendistribusian pendapatan yang diperoleh dari pajak tanah-tanah tersebut.
      i.      Wilayah Irak yang ditaklukkan dengan kekuatan menjadi milik Muslim dan kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat. Sedangkan bagian wilayah yang berada di bawah perjanjian damai tetap dimiliki oleh pemilik sebelumnya, dan kepemilikan tersebut dapat dialihkan.
    ii.      Kharaj dibebankan kepada semua tanah yang berada di bawah kategori pertama, meskipun pemilik tanah tersebut memeluk agama Islam. Dengan demikian, tanah seperti itu tidak dapat dikonversi menjadi tanah ‘usyr.
  iii.      Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikan selama mereka membayar kharaj dan jizyah.
  iv.      Tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau tanah yang diklaim kembali (seperti Bashra) bila diolah oleh kaum Muslimin diperlakukan sebagai tanah ‘usyr.
    v.      Di Sawad, kharaj dibebankan sebesar 1 dirham (sekitar Rp. 70.000) dan 1 rafiz (suatu ukuran lokal) gandum dan barley (sejenis gandum) dengan asumsi tanah tersebut dapat dilalui air. Harga yang lebih tinggi dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan.
  vi.      Di Mesir, berdasarkan perjanjian Amar, setiap pemilik tanah dibebankan pajak sebesar 2 dinar (sekitar Rp. 4 juta), di samping 3 irdabb gandum, 2 qist untuk setiap minyak, cuka, madu, dan rancangan ini telah disetujui Khalifah.
vii.      Perjanjian Damaskus (Syria) berisi pembayaran tunai, pembagian tanah dengan kaum Muslimin, beban pajak untuk setiap orang sebesar 1 dinar (sekitar Rp. 2 juta) dan 1 beban jarib (unit berat) yang diproduksi per jarib (ukuran) tanah.

c. Zakat.
            Pada masa Rasulullah Saw, jumlah kuda di Arab masih sangat sedikit, terutama yang dimiliki oleh kaum Muslimin karena digunakan untuk kebutuhan pribadi dan jihad. Di Hudaibiyah mereka mempunyai sekitar 200 ekor kuda. Karena zakat dibebankan terhadap barang-barang yang memiliki produktivitas, seorang budak atau seekor kuda yang dimiliki kaum Muslimin ketika itu tidak dikenakan zakat.
            Pada masa Umar, Gubernur Thaif melaporkan bahwa pemilik sarang lebah tidak membayar ‘usyr, tetapi menginginkan sarang-sarang lebah tersebut dilindungi secara resmi. Umar mengatakan bahwa bila mereka mau membayar ‘usyr, sarang lebah mereka akan dilindungi. Namun, jika menolak, mereka tidak akan memperoleh perlindungan.
            Zakat yang ditetapkan adalah 1/20 untuk  madu yang pertama dan 1/10 untuk madu jenis yang kedua.
d. ‘Usyr.
            Sebelum Islam datang, setiap suku atau kelompok yang tinggal di pedesaan bisa membayar pajak (‘usyr) jual-beli. Besarnya adalah 10% dari nilai barang atau 1 dirham untuk setiap transaksi. Namun, setelah Islam hadir dan menjadi sebuah negara yang berdaulat di semenanjung Arab, Nabi mengambil inisiatif untuk mendorong usaha perdagangan dengan menghapus bea masuk antar provinsi yang masuk dalam wilayah kekuasaan dan masuk dalam perjanjian yang ditandatangani oleh beliau bersama dengan suku-suku yang tunduk kepada kekuasaan beliau. Secara jelas dikatakan bahwa pembebanan 1/10 hasil pertanian kepada pedagang Manbij (Hierapolis).
            Menurut Saib bin Yazid, pengumpul ‘usyr di pasar-pasar Madinah, orang-orang Nabaeteari yang berdagang di Madinah juga dikenakan pajak pada tingkat yang umum. Tetapi setelah beberapa waktu, Umar menurunkan persentasenya menjadi 5% untuk minyak dan gandum, untuk mendorong import barang-barang tersebut di kota.
e. Sedekah Dari Non-Muslim.
            Tidak ada Ahli Kitab yang membayar sedekah atas ternaknya kecuali orang Kristen Bani Taglib yang seluruh kekayaannya terdiri dari hewan ternak. Mereka membayar 2x lipat dari yang dibayar kaum Muslimin. Bani Taglib merupakan suku Arab Kristen yang gigih dalam peperangan. Umar mengenakan jizyah kepada mereka, tetapi mereka terlalu gengsi sehingga menolak membayar jizyah dan malah membayar sedekah.
            Nu’man bin Zuhra memberikan alasan untuk kasus mereka dengan mengatakan bahwa pada dasarnya tidak bijaksana memperlakukan mereka seperti musuh dan seharusnya keberanian mereka menjadi aset negara. Umar pun memanggil mereka dan menggandakan sedekah yang harus mereka bayar dengan syarat mereka setuju untuk tidak membaptis seorang anak atau memaksanya untuk menerima kepercayaan mereka. Mereka setuju dan menerima untuk membayar sedekah ganda.
f. Mata Uang.
            Pada masa Nabi dan sepanjang masa pemerintahan Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun, koin mata uang asing dengan berbagai bobot telah dikenal di jazirah Arab, seperti dinar (sebuah koin emas dengan kadar 4,25 gram dan 22 karat), dan dirham (sebuah koin perak dengan kadar 3,98 gram dan 15 karat). Bobot dinar adalah sama dengan 1 mitsqal atau sama dengan 20 qirat atau 100 grains of barky.
g. Klasifikasi dan Alokasi Pendapatan Negara.
            Seperti yang telah disinggung di muka, kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pendapatan negara adalah mendistribusikan seluruh pendapatan yang diterima. Pada masa pemerintahannya, Umar bin Khattab mengklasifikasi pendapatan negara menjadi 4 bagian, yaitu:
      i.      Pendapatan zakat dan ‘usyr. Pendapatan ini didistribusikan di tingkat lokal. Dan jika terdapat surplus, sisa pendapatan tersebut di simpan di Bait Al-Māl pusat dan dibagikan kepada delapan ashnaf, seperti yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an.
    ii.      Pendapatan khums dan sedekah. Pendapatan ini didistribusikan kepada para fakir miskin atau untuk membiayai kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah ia seorang Muslim atau bukan. Dalam sebuah riwayat, di perjalanan menuju Damaskus, Khalifah Umar bertemu dengan seorang Nasrani yang menderita penyakit kaki gajah. Melihat hal tersebut, Khalifah Umar segera memerintahkan pegawainya agar memberikan dana kepada orang tersebut yang diambilkan dari hasil pendapatan sedekah dan makanan yang diambilkan dari persediaan untuk para petugas.
  iii.      Pendapatan kharaj, fai’, jizyah, ‘usyr (pajak perdagangan), dan sewa tanah. Pendapatan ini digunakan untuk membayar dana pensiun dan dana bantuan serta untuk menutupi biaya operasional administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.
  iv.      Pendapatan lain-lain. Pendapatan ini digunakan untuk membayar para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.

h. Pengeluaran.
            Di antara alokasi pengeluaran dari harta Bait Al-Māl tersebut, dana pensiun merupakan pengeluaran negara yang paling penting. Prioritas berikutnya adalah dana pertahanan negara dan dana pembangunan.
            Seperti yang telah dijelaskan, Khalifah Umar menempatkan dana pensiun di tempat pertama dalam bentuk rangsum bulanan (arzaq) pada tahun 18 H. Dan selanjutnya pada tahun 20 H dalam bentuk rangsum tahunan (‘athiyya). Dana pensiun ditetapkan untuk mereka yang akan dan pernah bergabung dalam kemiliteran. Dengan kata lain, dana pensiun ini sama halnya dengan gaji reguler angkatan bersenjata dan pasukan cadangan serta penghargaan bagi orang-orang yang telah berjasa.
            Dana ini juga meliputi upah yang dibayarkan kepada para pegawai sipil. Sejumlah penerima dana pensiun juga ditugaskan untuk melaksanakan kewajiban sipil, tetapi mereka dibayar bukan untuk itu.
            Seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah Saw, Khalifah Umar menetapkan bahwa negara bertanggungjawab membayarkan atau melunasi utang orang-orang yang menderita pailit atau jatuh miskin, membayar tebusan para tahanan Muslim, membayar diyat orang-orang tertentu, serta membayar biaya perjalanan para delegasi dan tukar-menukar hadiah dengan negara lain. Dalam perkembangan berikutnya, setelah kondisi Bait Al-Māl dianggap cukup kuat, ia menambahkan beberapa pengeluaran lain dan memasukkannya ke dalam daftar kewajiban negara, seperti memberi pinjaman untuk perdagangan dan konsumsi.

3. Sistem Ekonomi di Masa Pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M).
            Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama 12 tahun, Khalifah Utsman bin Affan berhasil melakukan ekspansi ke wilayah Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania dan Tabaristan. Ia juga berhasil menumpas pemberontakan di daerah Khurasan dan Iskandariah.
            Pada enam tahun pertama masa pemerintahannya, Khalifah Utsman bin Affan melakukan penataan baru dengan mengikuti kebijakan Umar bin Khattab. Dalam rangka pengembangan sumber daya alam, ia melakukan pembuatan saluran air, pembangunan jalan-jalan, dan pembentukan organisasi kepolisian secara permanen untuk mengamankan jalur perdagangan. Khalifah Utsman bin Affan juga membentuk armada laut kaum Muslimin di bawah komando Muawiyah, hingga berhasil membangun supremasi kelautannya di wilayah Mediterania, Laodicea, dan wilayah di semenanjung Syria, Tripoli dan Barca di Afrika Utara menjadi pelabuhan pertama negara Islam. Namun demikian, pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan harus menanggung beban anggaran yang tidak sedikit untuk memelihara angkatan laut tersebut.
            Khalifah Utsman bin Affan tidak mengambil upah dari kantornya. Sebaliknya, ia meringankan beban pemerintah dalam hal-hal yang serius, bahkan menyimpan uangnya di bendahara negara.
            Dalam hal pengelolaan zakat, Khalifah Utsman bin Affan mendelegasikan kewenangan menaksir harta yang dizakati dari berbagai gangguan dan masalah dalam pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa oknum pengumpul zakat. Di samping itu, Khalifah Utsman berpendapat bahwa zakat dikenakan terhadap harta milik seseorang setelah dipotong seluruh utang-utang yang bersangkutan. Ia juga mengurangi zakat dari dana pensiun.
            Memasuki enam tahun kedua masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, tidak terdapat perubahan situasi ekonomi yang cukup signifikan. Berbagai kebijakan Khalifah Utsman bin Affan telah banyak menimbulkan benih kekecewaan yang mendalam pada sebagian besar kaum Muslimin. Akibatnya pada masa ini, pemerintahannya lebih banyak diwarnai kekacauan politik yang berakhir dengan terbunuhnya sang Khalifah.

4. Sistem Ekonomi di Masa Pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M).
            Masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang hanya berlangsung selama 6 tahun selalu diwarnai  dengan ketidakstabilan kehidupan politik. Ia harus menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair bin Awwam dan Aisyah yang menuntut kematian Utsman bin Affan.
            Sekalipun demikian, Khalifah Ali bin Abi Thalib tetap berusaha untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang dapat mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam.
            Pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib, prinsip utama dari pemerataan distribusi uang rakyat telah diperkenalkan. Sistem distribusi setiap pekan sekali untuk pertama kalinya diadopsi. Hari kamis adalah hari pendistribusian atau hari pembayaran. Pada hari itu, semua perhitungan diselesaikan. Dan pada hari sabtu dimulai perhitungan baru. Cara ini mungkin solusi yang terbaik dari sudut pandang hukum dan kondisi negara yang sedang berada dalam masa-masa transisi. Khalifah Ali meningkatkan tunjangan bagi para pengikutnya di Irak.
            Khalifah Ali memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan, administrasi umum dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Konsep ini dijelaskan dalam suratnya yang terkenal ditujukan kepada Malik Ashter bin Harits. Surat yang panjang tersebut antara lain mendeskripsikan tugas, kewajiban serta tanggung jawab para penguasa dalam mengatur berbagai prioritas pelaksanaan dispensasi keadilan serta pengawasan terhadap para pejabat tinggi dan staf-stafnya serta menjelaskan kelebihan dan kekurangan para jaksa, hakim dan abdi hukum lainnya.



                [1] Materi ini disampaikan dalam kegiatan Pembekalan Kelompok Studi Ekonomi Islam (KSEI) Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, tanggal 23 Februari 2013.
                [2] Dosen Pemikiran Ekonomi Islam, Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin.

Pemikiran Ekonomi Islam Klasik


PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM KLASIK[1]
Oleh: Abdul Gafur[2]

            Kontribusi kaum Muslimin yang sangat besar terhadap kelangsungan dan perkembangan pemikiran ekonomi pada khususnya dan peradaban dunia pada umumnya, telah diabaikan oleh para ilmuwan Barat. Para sejarawan Barat telah menulis sejarah ekonomi dengan sebuah asumsi bahwa periode antara Yunani dan Skolastik adalah steril dan tidak produktif. Sebagai contoh, sejarawan sekaligus ekonom terkemuka, Josep Schumpeter, sama sekali mengabaikan peranan kaum Muslimin. Ia memulai penulisan sejarah ekonominya dari para filosof Yunani dan langsung melakukan loncatan jauh selama 500 tahun, dikenal sebagai The Great Gap, ke zaman St. Thomas Aquinas (1225-1274 M).
            Sebaliknya, meskipun telah memberikan kontribusi yang besar, kaum Muslimin tidak lupa mengakui utang mereka kepada para ilmuwan Yunani, Persia, India dan Cina. Hal ini sekaligus mengindikasikan inklusivitas para cendekiawan Muslim masa lalu terhadap berbagai ide pemikiran dunia luar selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
            Berbagai praktek dan kebijakan ekonomi yang berlangsung pada masa Rasulullah Saw dan Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun merupakan empiris yang dijadikan pijakan bagi para cendekiawan Muslim dalam melahirkan teori-teori ekonominya. Satu hal yang jelas, fokus perhatian mereka tertuju pada pemenuhan kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan dan kebebasan, yang tidak lain merupakan objek utama yang menginspirasikan pemikiran ekonomi Islam sejak masa awal.
            Berkenaan dengan hal tersebut, Siddiqi menguraikan sejarah pemikiran ekonomi Islam dalam tiga fase, yaitu: fase dasar-dasar ekonomi Islam, fase kemajuan dan fase stagnasi, sebagai berikut:
a. Fase Pertama.
            Fase pertama merupakan fase abad awal sampai dengan abad ke-5 Hijriyyah atau abad ke-11 Masehi yang dikenal sebagai fase dasar-dasar ekonomi Islam yang dirintis oleh para fuqaha, diikuti oleh sufi dan kemudian filosof. Pada awalnya, pemikiran mereka berasal dari orang yang berbeda, tetapi di kemudian hari, para ahli mempunyai dasar pengetahuan dari ketiga disiplin tersebut.Fokus fiqih adalah apa yang diturunkan oleh syariah dan, dalam konteks ini, para fuqaha mendiskusikan fenomena ekonomi. Tujuan mereka tidak terbatas pada penggambaran dan penjelasan fenomena ini. Namun demikian, dengan mengacu pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi, mereka mengeksplorasi konsep maslahah (utility) dan mafsadah (disutility) yang terkait dengan aktivitas ekonomi.
            Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam pada fase pertama ini antara lain diwakili oleh:
      i.      Zaid bin Ali (10-80 H/699-738 M)
            Zaid bin Ali berpandangan bahwa penjualan suatu barang secara kredit dengan harga yang lebih tinggi daripada harga tunai merupakan salah satu bentuk transaksi yang sah dan dapat dibenarkan selama transaksi tersebut dilandasi oleh prinsip saling ridha antar kedua belah pihak.
    ii.      Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M)
            Ahli hukum besar ini merupakan seorang pedagang yang beroperasi di Kufah, di mana pusat kegiatan perdagangan berkembang pesat di sana. Salah satu transaksi yang sangat populer saat itu adalah bai’ as-salam, yaitu menjual barang yang akan dikirimkan kemudian, sedangkan pembayaran dilakukan secara tunai pada waktu akan disepakati. Abu Hanifah meragukan keabsahan akad tersebut yang dapat mengarah kepada perselisihan. Ia mencoba menghilangkan perselisihan ini dengan merinci lebih khusus apa yang harus diketahui dan dinyatakan dengan jelas di dalam akad seperti jenis komoditi, mutu dan kuantitas serta waktu dan tempat pengiriman.
            Abu Hanifah mengusung nilai-nilai kemanusiaan dalam metode hukumnya. Ia mengkhawatirkan masyarakat miskin dan lemah. Dengan demikian, ia tidak membebaskan perhiasan dari zakat. Namun ia membebaskan orang yang memiliki utang dari zakat jika utangnya menutupi seluruh harta miliknya. Ia juga menolak untuk mengesahkan bagi hasil (muzara’ah) dalam kasus tanah yang tidak menghasilkan apa-apa, untuk melindungi pihak yang lemah.
  iii.      Al-Awza’i (88-157 H/707-774 M)
            Abdurrahman Al- Al-Awza’i berasal dari Beirut, hidup sezaman dengan Abu Hanifah. Ia menegakkan kebebasan akad untuk memudahkan orang dalam bertransaksi. Ia mengizinkan bagi hasil (mudharabah) dari modal yang diajukan, baik modal dalam bentuk tunai atau pun modal dalam bentuk barang. Sementara para ahli fiqih lainnya bersikeras menetapkan bahwa modal itu dalam bentuk tunai.
  iv.      Malik (93-179 H/717-796 M)
            Metode Imam Malik yang relevan untuk ekonomi adalah pendekatan hukumnya yang menggunakan metode maslahah (utilitas, apakah individu atau sosial).
            Berdasarkan metode maslahahnya, negara Islam berhak memungut pajak dari rakyatnya.
    v.      Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M)
            Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim dilahirkan di Kufah. Ia pernah menyandang gelar ahli hukum (qadhi al-qudhat) pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid. Ia murid tersohor imam Abu Hanifah. Kitabnya al-Kharaj, sempat menjadi panduan manual perpajakan pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid. Kitabnya ini merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Khalifah Harun al-Rasyid dan pertanyaan-pertanyaan yang dibuat oleh dirinya sendiri. Istilah “al-Kharāj” sendiri dalam perspektif Abu Yusuf mengandung dua makna: Pertama, makna yang berdimensi umum yaitu al-amwāl al-‘āmmah (keuangan publik), atau sumber pendapatan negara. Hal ini terlihat ketika Abu Yusuf mendiskusikan tema-tema yang berkaitan dengan sumber pendapatan negara seperti ghanīmah, fai’, al-Kharāj, al-jizyah, dan harta-harta yang berkedudukan sebagai pengganti seperti al-Kharāj dan shadaqah. Kedua, makna al-Kharāj yang berdimensi khusus terlihat ketika ia menyebutkan sewa tanah atau kompensasi atas pemanfaatan tanah.
            Abu Yusuf mengusulkan dalam kitabnya al-Kharāj, bahwa pajak atas tanah pertanian diganti dengan zakat pertanian, sehingga perhitungannya tidak berdasarkan harga tanahnya tetapi dikaitkan dengan jumlah hasil panennya. Begitu pula dengan pajak perniagaan digantikan dengan sistem zakat perniagaan.
            Menurut Abu Yusuf, harta yang diperoleh dari hasil pajak tanah (kharāj) tidak layak digabungkan dengan harta yang diperoleh dari hasil zakat. Karena harta hasil pajak tanah adalah harta ”rampasan” untuk seluruh kaum muslimin, sedangkan harta zakat diperuntukkan bagi mereka yang disebutkan Allah dalam al-Qur’an.
            Pendapat Abu Yusuf yang mirip dengan aliran fisiokratisme yang dimotori oleh Francis Quesnay (1694-1774 M), adalah pendapatnya yang kontroversial dalam analisis ekonomi tentang masalah pengendalian harga (tas’ir). Ia menentang penguasa yang menetapkan harga. Argumennya didasarkan pada hadits Nabi Saw: Diriwayatkan dari Anas, ia mengatakan bahwa harga pernah mendadak naik pada masa Rasulullah Saw. Para sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah, tentukanlah harga untuk kami. Beliau menjawab, “sesungguhnya Allah adalah Penentu harga, Penahan, Pencurah, serta Pemberi rejeki. Aku mengharapkan dapat menemui Tuhanku di mana salah seorang dari kalian tidak menuntutku karena kezaliman dalam hal darah dan harta.” Abu Yusuf menyatakan dalam kitab al-Kharāj, “tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui. Murah bukan karena melimpahnya makanan. Murah dan mahal merupakan ketentuan Allah. Kadang-kadang makanan berlimpah, tetapi tetap mahal dan kadang-kadang makanan sangat sedikit tetapi murah.” Namun di sisi lain, Abu Yusuf juga tidak menolak peranan permintaan dan penawaran dalam penentuan harga.
            Abu Yusuf menegaskan bahwa sumber ekonomi berada pada dua tingkatan; tingkatan pertama meliputi unsur-unsur alam (antara lain air dan tanah). Unsur-unsur ini paling kuat dan berproduksi secara mandiri. Tingkatan kedua ialah tenaga kerja. Tingkatan yang kedua ini berperan kurang maksimal dan tidak rutin seperti perbaikan dan pemanfaatan tanah, membuat sistem irigasi dan lain-lain.
  vi.      Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani (132-189 H/750-804 M)
            Dalam kitabnya Al-Kasb, Asy-Syaibani membahas pendapatan dan belanja rumah tangga. Ia mendefinisikan kerja (al-kasb) sebagai pencarian dalam memperoleh harta melalui berbagai cara yang halal. Dalam ekonomi Islam, aktivitas demikian termasuk aktivitas produksi atau segala aktivitas yang menghasilkan barang dan jasa dengan cara yang halal. Islam memandang bahwa suatu barang atau jasa mempunyai nilai-guna jika mengandung kemaslahatan. Sementara, kemaslahatan hanya bisa dapat dicapai dengan memelihara 5 unsur pokok kehidupan, yaitu; agama (Ad-Dīn), jiwa (An-Nafs), akal (Al-‘Aql), keturunan (An-Nasl) dan harta (Al-Māl).
            Asy-Syaibani menegaskan bahwa kerja (yang menjadi unsur utama produksi) mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan, karena menunjang pelaksanaan ibadah kepada Allah, dan karenanya hukum bekerja adalah wajib. Ia mengklasifikasikan jenis pekerjaan ke dalam 4 hal, yakni sewa-menyewa (ijarah), perdagangan (tijarah), pertanian (zira’ah), dan industri (shina’ah). Di antara keempat usaha perekonomian tersebut, ia lebih mengutamakan pertanian memproduksi berbagai kebutuhan dasar manusia yang sangat menunjang dalam melaksanakan berbagai kewajibannya. Pendapatnya ini sangat mirip dengan pemikiran ekonomi aliran Fisiokratisme 9 abad kemudian, tepatnya pada abad ke-17 M.
            Asy-Syaibani juga memiliki konsep spesialisasi dan distribusi pekerjaan (division of labour). Ia menyatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu membutuhkan yang lain. Seseorang tidak akan menguasai semua pengetahuan yang dibutuhkan sepanjang hidupnya, dan kalaupun manusia berusaha keras maka usia akan membatasi usahanya. Oleh karena itu, Allah memberi kemudahan pada setiap orang untuk menguasai pengetahuan salah satu atau beberapa saja di antaranya, sehingga manusia dapat bekerja sama dalam memenuhi kebutuhannya. Lebih lanjut, ia menandaskan bahwa seorang yang fakir membutuhkan upah dari orang kaya sedangkan yang kaya membutuhkan tenaga orang miskin. Dari hasil tolong-menolong tersebut, manusia akan semakin mudah dalam menjalankan aktivitas ibadah kepada Allah. Dengan demikian, distribusi pekerjaan seperti ini merupakan objek ekonomi yang mempunyai 2 aspek sekaligus, yaitu aspek religius dan aspek ekonomis.
            Menurut asy-Syaibani, sifat-sifat fakir mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, sekalipun banyak dalil yang menunjukkan keutamaan sifat-sifat kaya. Ia menyatakan bahwa apabila manusia telah merasa cukup dari apa yang dibutuhkan kemudian bergegas pada kebajikan, sehingga mencurahkan perhatian pada urusan akhiratnya, adalah lebih baik bagi mereka. Dalam konteks ini, sifat-sifat fakir diartikannya sebagai kondisi yang cukup (kifāyah), bukan kondisi papa dan meminta-minta (kafāfah). Pada dasarnya, asy-Syaibani menyerukan agar manusia hidup dalam kecukupan, baik untuk diri sendiri maupun keluarganya. Di sisi lain, ia berpendapat bahwa sifat-sifat kaya berpotensi membawa pemiliknya hidup dalam kemewahan. Sekalipun begitu, ia tidak menentang gaya hidup yang lebih dari cukup selama kelebihan tersebut hanya dipergunakan untuk kebaikan. 
vii.      Yahya bin Adam Al-Qarashi (203 H/818 M)
            Masa Abbasiyyah awal tampaknya telah mengilhami banyak penulis untuk membahas keuangan publik. Dari beberapa karya yang masih ada, beberapa telah mendapat perhatian dari para penulis baru-baru ini, yaitu Kitab Al-Kharaj karya Yahya bin Adam.
viii.      Abu Ubaid (224 H/828 M)
          Pembahasan Keuangan Publik Islam dalam karya Abu Ubaid, al-Amwāl, diawali dengan judul “Hak pemimpin terhadap rakyatnya dan hak rakyat terhadap pemimpinnya”. Menurutnya, jika kepentingan individu berbenturan dengan kepentingan publik, maka kepentingan publik mesti didahulukan.
            Jika isi kitab al-Amwāl dievaluasi dari sisi filosofi hukum, akan nampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Bagi Abu Ubaid, pelaksanaan dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial.
            Abu Ubaid sangat menentang pendapat yang menyatakan bahwa pembagian harta zakat harus dilakukan secara merata di antara 8 ashnāf dan cenderung menentukan suatu batas tertinggi terhadap bagian perorangan. Bagi Abu Ubaid, yang paling penting adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, seberapapun besarnya, serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari bahaya kelaparan. Namun pada saat yang bersamaan, Abu Ubaid tidak memberikan hak penerimaan zakat kepada orang-orang yang memiliki 40 dirham atau 4 dinar (sekitar Rp. 9 juta) atau harta lainnya yang setara. Di sisi lain, Abu Ubaid menganggap bahwa seseorang yang memiliki 200 dirham atau 20 dinar (sekitar Rp. 46 juta) maka ia terkena kewajiban membayar zakat. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan Abu Ubaid ini mengindikasikan adanya 3 kelompok sosio-ekonomi yang terkait dengan status zakat, yaitu; pertama, kalangan kaya yang terkena wajib zakat (≥ 200 dirham atau ≥ 20 dinar, yaitu sekitar ≥ Rp. 46 juta); kedua, kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat, tetapi juga tidak berhak menerima zakat (40-200 dirham atau 4-20 dinar, yaitu antara sekitar Rp. 9 juta – Rp. 46 juta); dan ketiga, kalangan penerima zakat (≤ 40 dirham atau 4 dinar, yaitu sekitar Rp. 9 juta).
  ix.      Ahmad bin Hanbal (164-241 H/780-855 M)
            Salah satu pendapat Imam Ahmad bin Hanbal terkait dengan persoalan ekonomi adalah kecamannya terhadap pembelian dari penjual yang menurunkan harga komoditi dalam rangka untuk menghalangi orang untuk membeli komoditi yang sama dari pesaingnya. Dengan demikian, penjual yang menurunkan harga komoditinya akhirnya bisa memonopoli komoditi tersebut, karena telah menghilangkan persaingan dari penjual lain, dan kemudian ia dapat mendikte harga sesukanya. Imam Ahmad ingin pemerintah turut campur tangan menangani kasus tersebut untuk mencegah praktek monopoli dan hal-hal yang tidak diinginkan.
    x.      Ibnu Miskawaih (421 H/1030 M)
            Salah satu pandangan Ibnu Miskawaih yang terkait dengan aktivitas ekonomi adalah tentang pertukaran dan peranan uang. Lebih jauh, ia menegaskan bahwa logam yang dapat dijadikan sebagai mata uang adalah logam yang dapat diterima secara universal melalui konvensi, yakni tahan lama, mudah dibawa, tidak mudah rusak, dikehendaki orang dan orang senang melihatnya.
  xi.      Al-Mawardi (450 H/1058 M)
            Abu Al-Hasan Al-Mawardi menulis Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, sebagai rujukan utama untuk masalah pengawasan pasar, hubungan pertanian dan perpajakan.
xii.      Ibnu Hazm (456 H/1064 M)
            Abu Muhammad Ibnu Hazm adalah seorang ahli hukum besar dengan pendekatan yang unik untuk hukum Islam, dan menolak penalaran analogis (qiyas) serta istihsan. Ia adalah satu-satunya ahli hukum besar yang menolak penyewaan lahan pertanian. Hal ini menyisakan dua opsi untuk lahan tersebut, apakah digarap sendiri atau masuk ke dalam pengaturan bagi hasil dengan penggarap atau pengolah.
xiii.      Nizam Al-Mulk Ath-Thusi (408-485 H/1018-1093 M)
            Nizam Al-Mulk menyadari sepenuhnya mengenai 3 arah faktor-faktor kemakmuran, produktivitas dan efisiensi. Mengamankan kesejahteraan dapat meningkatkan lebih besar produktivitas yang diharapkan dan efisiensi.
            Menurut Nizam Al-Mulk, stabilitas nasional dapat dicapai dengan memastikan bahwa kebutuhan pokok masyarakat dipenuhi secukupnya. Negara harus bisa menjamin ketersediaan pasokan yang cukup selama terjadi serangan hama atau gagal panen.
            Nizam Al-Mulk menegaskan bahwa persamaan hak dalam kesempatan melakukan kegiatan ekonomi adalah persyaratan awal untuk mencapai persamaan sosial. Upaya ekonomi untuk mencapai tujuan ini mencakup manajemen zakat yang efektif, bangunan pondok dan rumah untuk rakyat miskin, dan tersedianya lapangan kerja bagi rakyat sesuai kapasitas dan imbalannya.
            Tentang pajak, Nizam Al-Mulk tidak menyangkal bahwa sistem pajak yang baik menjadi basis keuangan yang sehat. Walaupun demikian, ia percaya bahwa keuangan yang sehat bukanlah segala-galanya untuk menghindari kesulitan nasional. Terkait dengan persoalan pajak tanah, Nizam Al-Mulk merekomendasikan pembatalan dari pembebanan (charge) oleh tuan tanah terhadap petani yang tidak dapat memenuhi kewajibannya membayar pajak. Dalam pandangannya, tuan tanah hanyalah sebatas pengumpul pajak, bahkan mereka tidak mempunyai hak untuk menetapkan jumlah pajak karena hal tersebut merupakan hak mutlak pemerintah. Dalam hal ini, Nizam Al-Mulk ingin mengurangi kekuasaan dan hak mutlak para tuan tanah, dan menjadikan pemerintah menjadi lebih berkuasa.

b. Fase Kedua.
            Fase kedua yang dimulai pada abad ke-11 sampai dengan abad ke-15 Masehi dikenal sebagai fase cemerlang karena meninggalkan warisan intelektual yang sangat kaya. Para cendekiawan muslim di masa ini mampu menyusun suatu konsep tentang bagaimana umat melaksanakan kegiatan ekonomi yang seharusnya berdasarkan landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di sisi lain, mereka juga menghadapi realitas politik yang ditandai oleh dua hal; pertama, disintegrasi pusat kekuasaan Bani Abbasiyyah dan terbaginya kerajaan ke dalam beberapa kekuatan regional yang mayoritasnya didasarkan pada kekuatan ketimbang kehendak rakyat; kedua, merebaknya tindakan korupsi di kalangan para penguasa diiringi dengan dekadensi moral di kalangan masyarakat yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan sosial, sehingga terjadi gap (jurang pemisah) antara orang kaya dan orang miskin.
            Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam pada fase kedua ini antara lain diwakili oleh:
      i.      Al-Ghazali (451-505 H/1055-1111 M)
          Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Pemikiran-pemikiran ekonominya didasarkan pada pendekatan tasawwuf. Corak pemikirannya dituangkan dalam kitab Ihyā’ ‘Ulūm Ad-Dīn, Al-Mustashfā’ fī ‘Ilmi Al-Ushūl dan Mîzān Al-‘Amal. Pemikiran sosio-ekonominya berakar dari sebuah konsep yang ia sebut “fungsi kesejahteraan sosial Islami”. Menurutnya, kesejahteraan (maslahah) dari suatu masyarakat tergantung pada pencarian dan pemeliharaan 5 tujuan dasar, yakni agama (Ad-Dīn), jiwa (An-Nafs), akal (Al-‘Aql), keturunan (An-Nasl) dan harta (Al-Māl). (dalam Ihyā’, juz 2). Ia mendefinisikan aspek ekonomi dari fungsi kesejahteraan sosialnya dalam kerangka sebuah hierarki utilitas individu dan sosial, yakni mulai dari pemenuhan kebutuhan pokok (dharūriyyāt), kebutuhan biasa (hājiyyāt) dan kemewahan (tahsīniyyāt).
            Al-Ghazali memandang petumbuhan ekonomi sebagai bagian dari tugas-tugas kewajiban sosial (fardh kifāyah) yang sudah ditetapkan Allah. Artinya, jika hal-hal ini tidak dipenuhi, kehidupan dunia akan runtuh dan kemanusiaan akan binasa (dalam Ihyā’, juz 2). Ia menegaskan bahwa aktivitas ekonomi harus dilakukan secara efisien karena merupakan bagian dari pemenuhan tugas keagamaan seeorang (dalam Mizan Al-’Amal). Selanjutnya, ia mengidentifikasi 3 alasan mengapa seseorang melakukan aktivitas-aktivitas ekonomi, yaitu: Pertama, untuk mencukupi kebutuhan hidup yang bersangkutan. Kedua, untuk mensejahterakan keluarga. Ketiga, untuk membantu orang lain yang membutuhkan (dalam Mizan Al-’Amal). Ia menyatakan bahwa pendapatan dan kekayaan seseorang berasal dari 3 sumber, yaitu pendapatan tenaga individual, laba perdagangan, dan pendapatan karena nasib baik. Ia mencontohkan dari sumber pendapatan yang ketiga adalah pendapatan melalui warisan, menemukan harta karun atau mendapat hadiah. Namun ia menandaskan bahwa seluruh sumber pendapatan tersebut harus diperoleh dengan cara yang halal.
            Al-Ghazali mengakui adanya tahapan produksi yang beragam sebelum produk tersebut dikonsumsi. Tahapan dan keterkaitan produksi yang beragam mensyaratkan adanya pembagian kerja, koordinasi dan kerja sama. Ia menguraikan argumen tahapan produksi ini dengan menggunakan contoh jarum (dalam Ihyā’, juz 4), senada dengan contoh pabrik penitinya Adam Smith kurang lebih 6 abad kemudian.
            Al-Ghazali menganggap kerja sebagai bagian dari ibadah seseorang. Bahkan secara khusus, ia memandang bahwa produksi barang-barang kebutuhan dasar sebagai kewajiban sosial (fardh kifāyah). Dalam hal ini, pada prinsipnya, negara harus bertanggung jawab dalam menjamin kebutuhan masyarakat terhadap barang-barang kebutuhan pokok. Di samping itu, ia beralasan bahwa ketidakseimbangan antara jumlah barang kebutuhan pokok yang tersedia dengan yang dibutuhkan masyarakat cenderung akan merusak kehidupan masyarakat.
            Al-Ghazali juga menganalisa hukum permintaan dan penawaran. Ia mengatakan bahwa jika petani tidak mendapatkan pembeli bagi produk-produknya, maka ia akan menjualnya pada harga yang sangat rendah.
            Tentang laba, Al-Ghazali menyatakan bahwa pengurangan marjin keuntungan dengan mengurangi harga akan menyebabkan peningkatan penjualan, dan karenanya terjadi peningkatan laba. Ia mengakui motivasi mencari laba dan sumber-sumbernya. Ia menganggap laba sebagai imbalan atas risiko dan ketidakpastian, karena mereka (pedagang dan pelaku bisnis) menanggung banyak kesulitan dalam mencari laba dan mengambil risiko, serta membahayakan kehidupan mereka dalam kafilah-kafilah dagang. Lebih jauh, ia menekankan bahwa penjual seharusnya didorong oleh “laba” yang akan diperoleh dari pasar yang “hakiki”, yakni akhirat.
            Tentang teori evolusi pasar, Al-Ghazali mendeskripsikannya sebagai berikut: ”Setiap penjual akan membutuhkan pembeli untuk membeli barang dagangannya. Namun ketika penjual dan pembeli berada di tempat yang berbeda atau tidak berada pada satu tempat, maka hal ini akan menimbulkan masalah. Oleh karena itulah, dibutuhkan suatu tempat yang mempertemukan antara para penjual dan para pembeli, sehingga masing-masing dari penjual dapat dengan mudah menemukan pembeli barang dagangannya, demikian juga dengan pembeli dapat dengan mudah menemukan setiap barang yang dibutuhkannya. Tempat inilah yang disebut dengan pasar. Sebagaimana aliran fisiokratisme pada abad 17 Masehi, bagi al-Ghazali, pasar berevolusi sebagai bagian dari “hukum alam”, yakni sebuah ekspresi hasrat yang timbul dari diri sendiri untuk saling memuaskan kebutuhan ekonomi” (dalam Ihyā’, juz 3).
            Sedangkan tentang teori evolusi uang, Al-Ghazali mendeskripsikannya sebagai berikut: ”Evolusi uang terjadi hanya karena kesepakatan dan kebiasaan (konvensi), yakni tidak akan ada masyarakat tanpa pertukaran barang dan tidak ada pertukaran yang efektif tanpa ekuivalensi, dan ekuivalensi demikian hanya dapat ditentukan dengan tepat bila ada ukuran yang sama”. Ia menyatakan bahwa tujuan satu-satunya dari emas dan perak adalah untuk dipergunakan sebagai uang (dinar dan dirham). Ia mengutuk mereka yang menimbun kepingan-kepingan uang atau mengubahnya menjadi bentuk yang lain. Ia berkata: “Uang tidak diciptakan untuk menghasilkan uang. Dinar dan dirham adalah alat untuk mendapatkan barang-barang lainnya.” Pernyataannya ini menunjukkan bahwa meminjamkan uang dengan mengambil keuntungan darinya (riba) adalah dilarang, sekaligus juga memberikan isyarat tentang fungsi uang. Ia juga memperingatkan bahwa memperdagangkan uang ibarat memenjarakan fungsi uang, jika banyak uang yang diperdagangkan, niscaya tinggal sedikit uang yang dapat berfungsi sebagai uang. Al-Ghazali pernah membolehkan peredaran uang yang tidak menggunakan emas dan perak, dengan beberapa persyaratan. Di antaranya, pemerintah harus menyatakan uang itu sebagai alat tukar resmi dan menjaga nilainya serta memastikan tidak ada perdagangan uang.
    ii.      Al-Kasani (578 H/1182 M)
            Abu Bakr bin Mas’ud Al-Kasani adalah seorang ahli hukum Islam terkemuka Mazhab Hanafi yang menganalisis beberapa isu ekonomi dalam karyanya Bada’i Ash-Shanā’i’. Diskusinya tentang pembagian keuntungan dan liabilitas atas kerugian dalam kontrak mudharabah, jelas dan tepat. Keuntungan dari modal yang diserahkan pada ukurannya terhadap risiko dan ketidakpastian, membuat pemodal bertanggung jawab atas kerugian, jika kerugiannya ada. Al-Kasani juga menjelaskan sifat sewa, ia mendefiniskan sewa sebagai harga manfaat yang mengalir dari penggunaan barang-barang sewaan.
  iii.      Najmuddin Ar-Razi (654 H/1256 M)
            Najmuddin Ar-Razi adalah seorang pemikir terkemuka abad ke-7 Hijriyyah. Ia menelusuri akibat buruk dari penindasan dan pemerasan oleh petugas pajak dan tuan tanah. Menurutnya, pertanian adalah perdagangan dengan Allah. Oleh karenanya, pertanian adalah kegiatan ekonomi yang terbaik dari sektor industri dan sektor perdagangan jika digarap dengan baik dan benar. Dengan demikian, pendapatnya ini mirip dengan pendapat tokoh sebelumnya pada abad ke-2 Hijriyyah, yaitu Asy-Syaibani, dan mirip dengan pendapat kaum Fisiokratis di kemudian hari pada abad ke-17 Masehi. Selanjutnya, Ar-Razi kemudian meletakkan kode etik bagi para agen ekonomi dengan menyebutkan hak dan kewajiban mereka, seperti tuan tanah, petani, dan buruh upahan.
  iv.      Nasiruddin Ath-Thusi (597-672 H/1201-1274 M)
            Nasiruddin Ath-Thusi diakui keahliannya dengan risalahnya tentang Keuangan Publik, yaitu Akhlaq-e-Nasiri (Nasirian Ethics). Ia menyatakan bahwa spesialisasi dan pembagian tenaga kerja (division of labour) telah menciptakan surplus ekonomi sehingga memungkinkan terjadinya kerja sama dalam masyarakat untuk saling menyediakan barang dan jasa kebutuhan hidup. Hal ini merupakan tuntunan alamiah sebab seseorang tidak bisa menyediakan semua kebutuhannya sendiri sehingga menimbukan ketergantungan satu dengan lainnya. Akan tetapi, jika proses ini dibiarkan secara alamiah, kemungkinan manusia akan saling bertindak tidak adil dan menuruti kepentingannya sendiri-sendiri. Orang yang kuat akan mengalahkan yang lemah. Oleh karena itu, diperlukan suatu strategi (siyāsah) yang mendorong manusia untuk saling bekerjasama dalam mencapai kesejahteraan masyarakat.
            Ath-Thusi sangat menekankan pentingnya tabungan, dan mengutuk konsumsi yang berlebihan serta pengeluaran-pengeluaran untuk aset-aset yang tidak produktif, seperti perhiasan dan penimbunan tanah yang tidak ditanami. Ia memandang pentingnya pembangunan pertanian sebagai fondasi pembangunan ekonomi secara keseluruhan dan untuk menjamin kesejahteraan masyarakat. Ia juga merekomendasikan pengurangan pajak, di mana berbagai pajak yang tidak sesuai dengan syari’at Islam harus dilarang.
    v.      Ibnu Taimiyyah (661-728 H/1263-1328 M)
            Nama lengkapnya adalah Taqiyyuddin Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalam bin Abdullah An-Namiri Al-Harrani. Ia memiliki 3 teori keadilan dalam kegiatan ekonomi, yaitu upah yang adil, laba yang adil dan harga yang adil. Tentang upah yang adil, menurut Ibnu Taimiyyah, upah yang sepadan diatur dengan tingkat upah yang ditentukan oleh tawar-menawar antara pekerja dengan pemberi kerja. Ia menyatakan bahwa apabila terjadi ketidaksempurnaan dalam pasar (bursa) tenaga kerja, di mana para pekerja menolak memberikan jasa atau tenaga mereka sementara masyarakat sangat membutuhkannya, maka pemerintah harus menetapkan upah para tenaga kerja, sehingga tidak merugikan masyarakat dan juga tenaga kerja. Tujuan penetapan harga/upah ini adalah untuk menghindari tindakan eksploitasi dari pihak majikan atau dari pihak pekerja. Pernyataannya ini menunjukkan hukum penawaran dan permintaan tenaga kerja sehingga mempengaruhi tingkat upah. Teori upah yang adil ini mirip dengan teori upah alami (natural wage) dari David Ricardo empat abad kemudian.
            Tentang laba yang adil, secara tersirat Ibnu Taimiyyah memandang laba sebagai penciptaan tenaga kerja dan modal secara bersamaan. Ia mendefinisikan laba yang adil sebagai laba normal yang secara umum diperoleh dari jenis perdagangan tertentu, tanpa merugikan orang lain. Dalam hal ini, ia menyatakan bahwa para pedagang tidak boleh menarik keuntungan dari pembeli yang tidak mengerti tentang harga umum yang berlaku di pasar dari barang yang dibelinya. Selain itu, jika ada orang miskin yang sangat membutuhkan untuk membeli beberapa barang guna memenuhi kebutuhan hidupnya, maka penjual harus mengambil keuntungan yang sama dengan keuntungan yang ia ambil dari pembeli yang lain yang tidak terlalu membutuhkan sebagaimana orang miskin tersebut. Namun, pembeli tidak bisa seenaknya saja menetapkan harga atas barang yang dibelinya. Oleh karena itulah, setiap orang dapat meminta regulasi harga dari pemerintah.
            Tentang harga yang adil, Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa “harga yang sepadan adalah harga standar yang berlaku ketika masyarakat menjual barang-barang dagangannya dan secara umum dapat diterima sebagai sesuatu yang sepadan dengan barang-barang tersebut atau barang-barang yang serupa pada waktu dan tempat yang khusus.” Di sini ia menjelaskan bahwa harga yang sepadan adalah harga yang dibentuk oleh kekuatan pasar yang berjalan secara bebas, yakni pertemuan antara kekuatan permintaan (demand) dengan penawaran (supply).
            Tentang mekanisme pasar, Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa “naik dan turunnya harga tidak selalu diakibatkan oleh kebijakan para penguasa atau pihak-pihak tertentu. Terkadang hal tersebut disebabkan oleh kekurangan produksi atau penurunan impor barang-barang yang diminta.” Artinya, naik dan turunnya harga ditentukan oleh pasar berdasarkan hukum permintaan dan penawaran. Namun ketika permintaan (demand) meningkat sementara persediaan (supply) tetap, maka harga akan mengalami kenaikan. Ia menyebut kenaikan harga terjadi karena penurunan jumlah barang atau peningkatan jumlah penduduk. Penurunan jumlah barang dapat disebut juga sebagai penurunan persediaan (supply), sedangkan peningkatan jumlah penduduk dapat disebut juga sebagai naiknya permintaan (demand). Suatu kenaikan harga yang disebabkan oleh penurunan supply atau kenaikan demand dikategorikan sebagai kehendak Allah. Dalam hal persediaan barang (supply), ia menyebutkan 2 sumber persediaan, yaitu produksi lokal dan impor barang-barang yang diminta. Selanjutnya, Ibnu Taimiyyah menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan serta konsekuensinya terhadap harga, yaitu; keinginan masyarakat terhadap berbagai jenis barang yang berbeda dan selalu berubah-ubah, jumlah peminat terhadap suatu barang, lemah atau kuatnya kebutuhan terhadap suatu barang serta besar atau kecilnya tingkat dan ukuran kebutuhan, besar atau kecilnya biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen atau penjual, dan tingkat kepercayaan penjual terhadap pembeli.
            Ibnu Taimiyyah juga membahas masalah regulasi harga. Tujuannya adalah untuk menegakkan keadilan serta memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Penetapan harga harus dilakukan oleh pemerintah ketika terjadi kekurangan bahan pokok di tengah-tengah masyarakat, sehingga tidak terjadi monopoli harga dan barang-barang kebutuhan pokok. Namun untuk membuat regulasi harga ini, pemerintah terlebih dahulu harus bermusyawarah dengan masyarakat yang mengerti persoalan harga bahan pokok yang berlaku.
            Tentang uang, Ibnu Taimiyyah menyebutkan 2 fungsi uang, yaitu sebagai pengukur nilai dan media pertukaran. Ia juga menyatakan bahwa volume uang yang beredar harus sesuai dengan proporsi jumlah transaksi yang terjadi. Hal ini untuk menjamin harga yang adil. Ia menganggap bahwa nilai intrinsik mata uang harus sesuai dengan daya beli di pasar. Ia menyatakan bahwa penciptaan mata uang dengan nilai nominal yang lebih besar dari pada nilai intrinsiknya, akan menyebabkan terjadinya penurunan nilai mata uang serta menimbulkan inflasi dan perilaku pemalsuan mata uang.
  vi.      Ibnu Al-Qayyim (691-751 H/1292-1350 M)
            Ibnu Al-Qayyim, adalah seorang ahli hukum Islam terkemuka dan pemikiran sosial. Ia banyak menguraikan pandangan gurunya, Ibnu Taimiyyah, dan menunjukkan wawasan analitisnya dalam diskusi tentang masalah ekonomi. Ibnu Al-Qayyim mengidentifikasi 2 fungsi utama uang, yaitu sebagai alat tukar dan sebagai standar nilai. Ia juga mengobservasi secara signifikan bahwa gangguan fungsi uang ini terjadi ketika orang mulai mencari uang untuk kepentingan sendiri.
vii.      Abu Ishaq Asy-Syathibi (790 H/1388 M)
            Karya bersejarah Asy-Syathibi tentang prinsip-prinsip hukum Islam, Al-Muwāfaqāt fī Ushūl Asy-Syarī’ah, bukanlah sebuah risalah tentang ekonomi. Tapi ia mengklasifikasi 3 tingkatan keinginan manusia, yaitu kebutuhan dasar (dharūriyyāt), kebutuhan biasa (hājiyyāt), dan kemewahan (tahsīniyyāt). Ia mengelaborasi diskusi tentang prinsip tindakan individu yang tidak dapat dibiarkan jika membahayakan kepentingan orang lain. Penekanannya terhadap perlindungan dan penyebarluasan kepentingan sosial sebagai tujuan dari hukum Islam, berimplikasi kuat terhadap perekonomian Islam. Ia juga berpendirian secara realistis pada kompetensi pemerintah Islam untuk memungut pajak selain yang ditentukan oleh syari’ah, dalam kasus pajak tersebut memang dibutuhkan oleh negara.
viii.      Ibnu Khaldun (732-808 H/1332-1404 M)
            Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Khaldun Abu Zaid Waliyyuddin Al-Hadhrami. Karya monumentalnya adalah al-Muqaddimah.
            Bagi Ibnu Khaldun, produksi adalah aktivitas manusia yang diorganisasikan secara sosial dan internasional. Menurutnya, faktor produksi yang utama adala tenaga kerja manusia. Ia menyatakan bahwa “tenaga manusia sangat penting untuk setiap akumulasi laba dan modal … Tanpa tenaga manusia, tidak ada hasil yang akan dicapai, dan tidak ada hasil yang berguna.” Karena itu, manusia harus melakukan produksi guna mencukupi kebutuhan hidupnya, dan produksi berasal dari tenaga manusia. Selanjutnya, ia menegaskan bahwa produksi agregat yang dihasilkan oleh manusia yang bekerja secara bersama-sama adalah lebih besar dibandingkan dengan jumlah total produksi individu dari setiap orang yang bekerja secara sendiri-sendiri, dan lebih besar dibandingkan dengan jumlah yang dibutuhkan mereka untuk dapat tetap bertahan hidup. Ia menyatakan “apa yang dicapai melalui kerja sama dari sekelompok manusia dapat memuaskan kebutuhan kelompok berkali-kali lebih besar.” Teorinya tentang produksi agregat ini merupakan embrio suatu teori perdagangan internasional. Dengan kegiatan produksi yang dilakukan secara bersama-sama pada suatu daerah tertentu, maka hasil produksinya dapat diekspor ke daerah lain yang membutuhkannya, sehingga terjadilah perdagangan antar daerah.
            Ibnu Khaldun membagi jenis barang menjadi dua, yaitu barang kebutuhan pokok dan barang mewah. Menurutnya, bila suatu kota berkembang dan selanjutnya populasinya bertambah banyak, maka persediaan kebutuhan pokok akan mendapat prioritas. Sedangkan untuk barang-barang mewah, permintaannya akan meningkat sejalan dengan berkembangnya kota dan berubahnya gaya hidup. Akibatnya, harga barang mewah meningkat. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun berkomentar bahwa memang pada mulanya kemewahan dapat meningkatkan permintaan dan pendapatan sehingga meningkatkan pembangunan dan memperkuat modal negara, namun hal demikian pada gilirannya akan merusak moral dan melonggarkan batasan-batasan moral pada belanja. Moderasi akan kehilangan akar dan digantikan dengan pola hidup extravagansa. Rakyat akan cenderung mengumbar energi mereka pada barang-barang mewah. Manakala mereka kesulitan untuk mendapatkan barang-barang ini lewat cara-cara yang benar, mereka akan melakukan tindakan korupsi.
            Ibnu Khaldun menyatakan bahwa kekayaan (negara) tidak tumbuh manakala ditimbun dan disimpan. Ia akan tumbuh dan berkembang manakala dibelanjakan untuk kepentingan masyarakat, untuk diberikan kepada yang berhak, dan menghapuskan kesulitan. Kekayaan (negara) juga bergantung kepada pembagian tenaga kerja (division of labor) dan spesialisasi; makin besar tingkat spesialisasi, makin tinggi pertumbuhan kekayaan. Selain itu, ia juga menyatakan bahwa kekayaan atau kemakmuran suatu bangsa tidak ditentukan oleh jumlah uang dan asset atau Sumber Daya Alam yang dimiliki bangsa tersebut, akan tetapi peradabanlah yang menentukannya. “Peradaban yang besar menghasilkan laba yang besar karena jumlah tenaga kerja yang banyak.” Jumlah tenaga kerja inilah yang menghasilkan barang dan jasa yang pada gilirannya menghasilkan laba. Ia juga mengatakan bahwa jatuh bangunnya suatu dinasti atau peradaban sangat tergantung pada kesejahteraan atau kesulitan hidup manusia.
            Tentang teori nilai, Ibnu Khaldun mengukur nilai suatu produk sama dengan jumlah tenaga kerja yang dikandungnya. Pendapatnya ini sangat mirip dengan teori nilai dari Adam Smith tiga abad kemudian. Bagi Ibnu Khaldun, harga adalah hasil dari hukum permintaan dan penawaran. Pengecualian satu-satunya dari hukum ini adalah uang dinar dan dirham, yang menjadi standar moneter. Ia menjelaskan bahwa pemerintah tidak perlu ikut campur tangan dalam menentukan harga selama mekanisme pasar berjalan normal. Tapi bila mekanisme pasar tidak berjalan normal, maka pemerintah disarankan melakukan kontrol harga. Selain itu, Ia menyatakan bahwa pada awalnya, harga-harga akan cenderung menurun seiring dengan peningkatan dalam pembangunan dan produksi. Namun, jika permintaan terus meningkat, sementara penawaran tidak mampu berpacu dengannya, kelangkaan pun akan terjadi, sehingga menimbulkan peningkatan dalam harga barang dan jasa. Akibatnya, harga-harga kebutuhan pokok cenderung meningkat lebih cepat daripada harga barang-barang mewah, dan harga-harga di perkotaan lebih cepat merangkak daripada di pedesaan. Dan selanjutnya, ongkos tenaga kerja juga ikut naik seiring dengan naiknya pajak. Hal ini menyebabkan pembangunan menjadi turun, begitu juga dengan kemakmuran dan peradaban.
  ix.      Al-Maqrizi (766-845 H/1364-1441 M)
            Al-Maqrizi melakukan studi kasus tentang uang dan kenaikan harga-harga yang terjadi secara periodik dalam keadaan kelaparan dan kekeringan. Al-Maqrizi mengidentifikasi 3 sebab dari peristiwa ini, yaitu korupsi dan administrasi yang buruk, beban pajak yang berat terhadap para penggarap, dan kenaikan pasokan mata uang fulus. Membahas penyebab ketiga, ia menekankan bahwa emas dan perak adalah satu-satunya jenis uang yang dapat dijadikan sebagai standar nilai, dalam hal sifatnya dan kesesuaiannya dengan syari;ah. Nilai emas dan perang jarang naik dalam ukuran yang besar, meskipun nilai fulus melambung tinggi.

c. Fase Ketiga.
            Fase ketiga yang dimulai pada tahun 1446 hingga 1932 Masehi merupakan fase tertutupnya pintu ijtihad yang mengakibatkan fase ini dikenal juga sebagai fase stagnasi. Pada fase ini, para ulama hanya menulis catatan-catatan para pendahulunya dan mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan aturan standar bagi masing-masing mazhab.
            Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam pada fase ini antara lain diwakili oleh:
      i.      Shah Waliullah Ad-Dahlawi (1114-1176 H/1703-1763 M)
            Pada abad terakhir dari sejarah Islam, kita mendapatkan penjelasan yang sangat jelas dari pemikiran ekonomi Islam dalam karya-karya Shah Waliullah dari Delhi, terutama karyanya Hujjatullāh Al-Bālighah. Meskipun ia membahas secara panjang lebar di sana, namun tidak ada upaya serius untuk mempelajari filsafat ekonominya. Ia menganggap kesejahteraan ekonomi sangat diperlukan untuk kehidupan yang baik. Dalam konteks ini, ia membahas kebutuhan manusia, kepemilikan, sarana produksi, kebutuhan untuk bekerjasama dalam proses produksi dan berbagai bentuk distribusi dan konsumsi. Ia juga menelusuri evolusi masyarakat dari panggung primitif sederhana dengan budaya yang begitu kompleks di masanya (di wilayah Delhi dan sekitarnya selama masa-masa terakhir pemerintahan Mughal). Ia juga menekankan bagaimana pemborosan dan kemewahan yang diumbar akan menyebabkan peradaban menjadi merosot. Dalam diskusinya tentang sumber daya produktif, ia menyoroti fakta bahwa hukum Islam telah menyatakan beberapa sumber daya alam yang menjadi milik sosial. Ia mengutuk praktek monopoli dan pengambilan keuntungan secara berlebihan dari lahan perekonomian. Ia menjadikan kejujuran dan keadilan dalam bertransaksi sebagai prasyarat untuk mencapai kemakmuran dan kemajuan.
            Shah Waliullah membahas perlunya pembagian dan spesialisasi kerja, kelemahan dari sistem barter, dan keuntungan dari penggunaaan uang sebagai alat tukar dalam konteks evolusi masyarakat dari primitif ke negara maju. Menurutnya, kerjasama telah membentuk satu-satunya dasar hubungan ekonomi yang manusiawi dan Islami. Transaksi yang melibatkan bunga memiliki pengaruh yang merusak. Praktek bunga menciptakan kecenderungan untuk menyembah uang. Hal ini menyebabkan masyarakat berlomba-lomba dalam memperoleh kemewahan dan kekayaan. Poin paling penting dari filsafat ekonominya adalah bahwa sosial ekonomi memiliki pengaruh yang mendalam terhadap moralitas sosial. Oleh karena itu, kejujuran moral diperlukan untuk membentuk tatanan ekonomi.
            Shah Waliullah menganalisis bahwa faktor utama yang menyebabkan menurunnya pendapatan adalah tingkat konsumsi yang berlebihan dengan munculnya kelas kaya-miskin, dan meningkatnya beban pajak atas orang-orang lemah. Analisis-analisis dari Shah Waliullah sangat memungkinkan untuk dikaji lebih mendalam lagi dalam kerangka ekonomi Islam modern karena kedekatan masa antar keduanya.
    ii.      Muhammad Abduh (1266-1323 H/1849-1905 M)
            Muhammad Abduh menyatakan bahwa rus Islam mewajibkan kepada pemerintah untuk ikut campur tangan dalam urusan perekonomian, demi kemaslahatan publik, yaitu apakah dengan membangun pabrik industri dan perusahaan, atau dengan menentukan harga barang perdagangan, atau memberikan hak keadilan kepada para buruh dengan cara menaikkan gaji minimum mereka, atau dengan cara mengurangi jam kerja mereka, atau dengan cara kedua-duanya secara bersamaan.
            Muhammad Abduh sangat mengecam orang-orang yang bersantai dan bermalas-masalan, dengan kondisinya yang pengangguran, bahkan terhadap orang-orang kaya yang bersantai dan bermalas-malasan sekalipun, juga ikut dikecam olehnya. Ia mensinyalir bahwa bagaimana mungkin orang kaya bisa bersantai, padahal santai mereka itulah sebenarnya yang disebut santai yang pengangguran dan malas. Ia juga mengatakan, “siapa yang tidak mencicipi lezatnya bekerja, maka ia tidak mencicipi lezatnya hakikat waktu luang (hari libur). Karena Tuhan tidak menciptakan waktu luang selain untuk pekerjaan.”
            Muhammad Abduh juga sangat mengecam perilaku zalim dalam ekonomi. Bahkan ia menganggapnya sebagai jenis kezaliman yang paling kejam. Karenanya, orang kaya yang mencintai hartanya hingga mereka kikir mengeluarkan hartanya demi kemaslahatan umum, maka mereka itu betul-betul kafir (dalam arti kufur nikmat) meskipun mereka sendiri menyebut diri mereka beriman.
            Abduh mengingatkan akan bahaya yang menimpa masyarakat karena dominasi para pemilik modal (kapitalis). Dalam hal ini, Abduh menganggap bahwa eksploitasi harta melalui harta, atau menjadikan harta sebagai media untuk mendapatkan keuntungan dengan cara mengeksploitasi kebutuhan orang lain, adalah termasuk faktor mendasar yang menyebabkan riba diharamkan dalam Islam. Abduh mengisyaratkan pernyataannya ini kepada bunga bank.
            Muhammad Abduh setuju bahwa kemiskinan seseorang itu memang sudah menjadi sunnatullah dalam lingkungan masyarakat. Artinya, kemiskinan itu disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah karena faktor memang tidak mampu bekerja, atau karena gagal berusaha, atau karena pengangguran dan malas, atau karena faktor rendahnya pendidikan. Ia mengatakan, “jika kemiskinan seseorang memang sudah menjadi sunnatullah, maka mengatasi kemiskinan itu pun juga harus dengan sunnatullah, begitu juga halnya dengan kekayaan seseorang.” Maksudnya adalah mengatasi masalah kemiskinan itu harus dengan mengatasi faktor-faktor penyebabnya. Begitu juga jika seseorang ingin memperoleh kekayaan, maka ia harus berusaha dan bekerja untuk memperolehnya.
            Bagi Muhammad Abduh, ekonomi merupakan sikap moderat dalam pengeluaran/belanja. Artinya, pemilik harta tidak boleh terlalu boros dalam pengeluaran dan belanja, dan juga tidak boleh terlalu hemat atau terlalu pelit mengeluarkan harta, tapi harus dipilah dan dipilih mana yang paling utama kemudian diurut kepada hal yang lebih utama.
  iii.      Muhammad Iqbal (1289-1357 H/1873-1938 M)
            Sang “Penyair Dari Timur” ini memang memiliki pemikiran yang berkisar tentang hal-hal teknis dalam ekonomi, tetapi lebih pada konsep-konsep umum yang mendasar. Ia mencontohkan respon Islam terhadap Kapitalisme Barat dan reaksi ekstrim Komunisme Uni Soviet, dengan menggarisbawahi kelemahan dari kedua sistem tersebut, dan menampilkan sikap yang lebih baik dengan mengambil jalan tengah sebagaimana yang telah disediakan oleh Islam. Ia mengajak umat untuk berpegang teguh, dan tidak ragu mengambil intisari dari pengalaman sejarah manusia. Menurutnya, semangat Kapitalisme, yaitu memupuk modal dan materi sebagai nilai dasar sistem ini, bertentangan dengan semangat Islam. Demikian pula, semangat komunisme yang banyak melakukan pemaksaan kepada masyarakat, juga bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
            Iqbal sangat prihatin terhadap petani, buruh dan masyarakat lemah lainnya. Ia menganggap semangat Kapitalis yang eksploitatif menjadi asing bagi Islam. Ia menganggap bahwa pembentukan keadilan sosial merupakan salah satu bagian dari tugas pemerintahan Islam, dan memandang zakat sebagai potensi yang efektif untuk menciptakan masyarakat yang adil.




                [1] Materi ini disampaikan dalam kegiatan Pembekalan Kelompok Studi Ekonomi Islam (KSEI) Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, tanggal 23 Februari 2013.
                [2] Dosen Pemikiran Ekonomi Islam, Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin.