PEMIKIRAN
EKONOMI ISLAM KONTEMPORER[1]
Oleh:
Abdul Gafur[2]
Pemikiran ekonomi Islam kontemporer
ini merupakan buah pikiran dari para ekonom Muslim pada abad ke-20 Masehi. Jika
dalam pemikiran ekonomi Islam klasik dibagi menjadi 3 fase, maka pemikiran
ekonomi Islam kontemporer ini dibagi menjadi 3 aliran, yaitu aliran Iqtishādunā,
aliran Mainstream, dan aliran Alternatif. Masing-masing dari ketiga
aliran ini memiliki corak pemikiran yang berbeda-beda.
1. Aliran Iqtishādunā
Corak utama dari aliran ini adalah
pemikirannya tentang masalah ekonomi
yang muncul karena adanya distribusi yang tidak merata dan tidak adil sebagai
akibat dari sistem ekonomi yang membolehkan eksploitasi pihak yang kuat
terhadap pihak yang lemah. Yang kuat memiliki akses terhadap sumber daya
sehingga menjadi sangat kaya. Sementara yang lemah tidak memiliki akses
terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat miskin. Karena itu, masalah
ekonomi muncul bukan karena sumber daya yang tidak terbatas, tetapi karena
keserakahan manusia yang tidak terbatas.
Aliran
ini menolak pernyataan yang menyatakan bahwa masalah ekonomi disebabkan oleh
adanya keinginan manusia yang tak terbatas sementara sumber daya alam yang
tersedia jumlahnya terbatas. Karena hal tersebut bertentangan dengan firman
Allah: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”
(Q.S. al-Qamar: 49).
Aliran
ini dipelopori oleh Baqir Sadr. Nama aliran ini pun diambil dari nama karyanya Iqtishādunā.
Menurutnya, ekonomi Islam adalah cara atau jalan yang dipilih oleh Islam untuk
dijalani dalam rangka mencapai kehidupan ekonominya dan dalam memecahkan
masalah ekonomi praktis sejalan dengan konsepnya tentang keadilan. Baginya,
Islam tidak mengurusi hukum permintaan dan penawaran ... (tidak pula) hubungan
antara laba dan bunga bank ... (tidak pula) fenomena diminishing returns
di dalam produksi, yang baginya merupakan ”ilmu ekonomi”. Jadi menurutnya,
ekonomi Islam adalah doktrin karena ia membicarakan semua aturan dasar
dalam kehidupan ekonomi dihubungkan dengan ideologinya mengenai keadilan
sosial. Sebagai doktrin, sistem ekonomi Islam juga berhubungan dengan
pertanyaan ”apa yang seharusnya” berdasarkan kepercayaan, hukum, konsep dan
definisi yang diambil dari Al-Qur’an dan Hadits. Di dalam doktrin ekonomi Sadr,
keadilan menempati posisi sentral, sehingga menjadi tolak ukur untuk menilai
teori, kegiatan dan output ekonomi.
2. Aliran Mainstream
Corak
utama dari pemikiran aliran ini adalah kebalikan dari aliran Iqtishādunā
dalam memandang masalah ekonomi. Menurut aliran ini, masalah ekonomi timbul
memang dikarenakan kelangkaan (scarcity) Sumber Daya Alam sementara
keinginan manusia tidak terbatas. Untuk
itu, manusia diarahkan untuk melakukan prioritas dalam memenuhi segala
kebutuhannya. Dan keputusan dalam menentukan skala prioritas tersebut tidak
dapat dilakukan semaunya sendiri karena dalam Islam sudah ada rujukannya sesuai
dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Aliran
ini ditokohi oleh 4 tokoh utama, yaitu Muhammad Abdul Mannan, Muhammad
Nejatullah Siddiqi, Syed Nawab Haidar Naqvi, dan Monzer Kahf.
a. Muhammad Abdul Mannan.
Pemikiran
ekonominya dituangkan dalam karya-karyanya; Islamic Economics: Theory and
Practice (1970) dan The Making of Islamic Economic Society (1984). Ia
mendefinisikan ekonomi Islam sebagai “ilmu pengetahuan sosial yang
mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai
Islam.” Ketika ekonomi Islam dihadapkan pada masalah ”kelangkaan”, maka
bagi Mannan, sama saja artinya dengan kelangkaan dalam ekonomi Barat. Bedanya
adalah pilihan individu terhadap alternatif penggunaan sumber daya, yang
dipengaruhi oleh keyakinan terhadap nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, menurut
Mannan, yang membedakan sistem ekonomi Islam dari sistem sosio-ekonomi lain
adalah sifat motivasional yang mempengaruhi pola, struktur, arah dan komposisi
produksi, distribusi dan konsumsi. Dengan demikian, tugas utama ekonomi Islam
adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi asal-usul permintaan dan
penawaran sehingga dimungkinkan untuk mengubah keduanya ke arah distribusi yang
lebih adil.
b. Muhammad Nejatullah Siddiqi.
Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karya-karyanya; The Economic
Enterprise in Islam (1971) dan Some Aspects of The Islamic Economy
(1978). Ia mendefinisikan ekonomi Islam sebagai “respon para pemikir muslim
terhadap tantangan ekonomi yang dihadapi pada zaman mereka masing-masing. Dalam
usaha ini, mereka dibantu oleh Qur’an dan Sunnah, baik sebagai dalil dan
petunjuk maupun sebagai eksprimen.” Siddiqi menolak determinisme ekonomi
Marx. Baginya, ekonomi Islam itu modern, memanfaatkan teknik produksi terbaik
dan metode organisasi yang ada. Sifat Islamnya terletak pada basis hubungan
antarmanusia, di samping pada sikap dan kebijakan-kebijakan sosial yang
membentuk sistem tersebut. Ciri utama yang membedakan perekonomian Islam dan
sistem-sistem ekonomi modern yang lain, menurutnya, adalah bahwa di dalam suatu
kerangka Islam, kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi merupakan sarana untuk
mencapai tujuan spritual dan moral. Oleh karena itu, ia mengusulkan modifikasi
teori ekonomi Neo-Klasik konvensional dan peralatannya untuk mewujudkan
perubahan dalam orientasi nilai, penataan kelembagaan dan tujuan yang dicapai.
c. Syed Nawab Haidar Naqvi.
Pemikiran
ekonominya dituangkan dalam karyanya; Ethics and Economics: An Islamic
Synthesis (1981). Ia mendefinisikan ekonomi Islam sebagai “perilaku
muslim sebagai perwakilan dari ciri khas masyarakat muslim.” Ada 3 tema
besar yang mendominasi pemikiran Naqvi dalam ekonomi Islam. Pertama,
kegiatan ekonomi dilihat sebagai suatu subjek dari upaya manusia yang lebih
luas untuk mewujudkan masyarakat yang adil berdasarkan pada prinsip etika
ilahiyyah, yakni keadilan (Al-’Adl) dan kebajikan (Al-Ihsān).
Menurutnya, hal itu berarti bahwa etika harus secara eksplisit mendominasi
ekonomi dalam ekonomi Islam, dan faktor etika inilah yang membedakan sistem
ekonomi Islam dari sistem ekonomi lainnya. Kedua, melalui prinsip Al-’Adl
wa Al- Ihsān, ekonomi Islam memerlukan suatu bias yang melekat dalam
kebijakan-kebijakan yang memihak kaum miskin dan lemah secara ekonomis. Bias
tersebut mencerminkan penekanan Islam terhadap keadilan, yang ia terjemahkan
sebagai egalitarianisme. Ini adalah suatu butir penting yang sering kali ia
tekankan dalam tulisannya. Dan ketiga adalah diperlukannya suatu peran
utama negara dalam kegiatan ekonomi. Negara tidak hanya berperan sebagai
regulator kekuatan-kekuatan pasar dan penyedia (supplier) kebutuhan
dasar, tetapi juga sebagai partisipan aktif dalam produksi dan distribusi, baik
di pasar barang maupun faktor produksi, demikian pula negara berperan sebagai
pengontrol sistem perbankan. Ia melihat negara Islam sebagai perwujudan atau
penjelmaan amanah Allah tatkala ia meletakkan negara sebagai penyedia, penopang
dan pendorong kegiatan ekonomi.
d. Monzer Kahf.
Pemikiran
ekonominya dituangkan dalam karyanya; The Islamic Economy: Analytical of The
Functioning of The Islamic Economic System (1978). Ia tidak mengusulkan
suatu definisi ”formal” bagi ekonomi Islam, tetapi karena ilmu ekonomi
berhubungan dengan perilaku manusia dalam hal produksi, distribusi dan
konsumsi, maka ekonomi Islam, menurutnya, dapat dilihat sebagai sebuah cabang
dari ilmu ekonomi yang dipelajari dengan berdasarkan paradigma (yakni aksioma,
sistem nilai dan etika) Islam, sama dengan studi ekonomi Kapitalisme dan
ekonomi Sosialisme. Dengan pandangannya ini, ia mencela kelompok-kelompok
ekonom Islam tertentu. Ia menengarai suatu kelompok yang mencoba untuk
menekankan dengan terlalu keras perbedaan antara ekonomi Islam dan Barat.
Kelompok itu tidak memahami bahwa perbedaan antara keduanya sebenarnya terletak
pada filosofi dan prinsipnya, bukan pada metode yang digunakan. Di pihak lain,
terdapat juga kelompok lain yang secara implisit menerima asumsi-asumsi ekonomi
Barat yang sarat nilai. Kelompok lain yang ia tegur adalah mereka yang mecoba
menyamakan antara ekonomi Islam dan Fiqih Mu’amalat. Kelompok ini, menurutnya,
telah menyempitkan ekonomi Islam sehingga hanya berisi sekumpulan perintah dan
larangan saja, padalah seharusnya mereka membicarakan hal-hal seperti teori
konsumsi atau teori produksi. Semua kelompok tersebut tidak memahami posisi
ekonomi Islam dalam kerangka atau kategorisasi cabang ilmu pengetahuan serta tidak
pula bisa memisah-misahkan berbagai seginya seperti filosofinya, prinsip atau
aksiomanya, serta fungsi aktualnya.
3. Aliran Alternatif
Aliran
ini dikenal sebagai aliran yang kritis secara ilmiah terhadap ekonomi Islam,
baik sebagai ilmu maupun sebagai peradaban. Aliran ini mengkritik kedua aliran
sebelumnya. Aliran Iqtishādunā dikritik karena dianggap berusaha
menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya sudah ditemukan tokoh-tokoh
sebelumnya, sedangkan aliran Mainstream dikritik sebagai jiplakan ekonomi
aliran Neo-Klasik dan Keynesian dengan menghilangkan unsur riba serta memasukkan
variabel zakat dan akad, sehingga tidak ada yang orisinil dari aliran ini.
Namun aliran ini tidak hanya mengkritik ekonomi Islam saja, ekonomi konvensional
pun juga telah dikritik.
Tokoh-tokoh
aliran ini adalah Timur Kuran, Sohrab Behdad, dan Abdullah Saeed.
a. Timur Kuran.
Ia
adalah seorang dosen ekonomi di Southern California University, USA. Pemikirannya
bisa ditemukan dalam tulisan artikel-artikelnya, yaitu; “The Economyc System
in Contemporary Islamic Thought: Interpretation and Assessment”, dalam International
Journal of Middle East Studies Volume 18 tahun 1986, dan “On The Notion
of Economic Justice in Contemporary Islamic Thought”, dalam International
Journal of Middle East Studies Volume 21 tahun 1989.
b. Sohrab
Behdad.
Pemikirannya dapat ditemukan dalam
tulisan artikelnya yang berjudul “Property Rights in Contemporary Islamic
Economic Thought: A Critical Perspective” dalam jurnal Review of Social
Economy Volume 47 tahun 1989.
c. Abdullah
Saeed.
Ia adalah seorang Profesor Studi
Arab-Islam di University of Melbourne ,
Australia .
Pemikirannya bisa ditemukan dalam tulisan artikel-artikelnya, yaitu; “Islamic
Banking in Practice: A Critical Look at The Murabaha Financing Mechanism”
dalam Journal of Arabic, Islamic & Middle Eastern Studies tahun 1993,
dan “The Moral Context of The Prohibition of Riba in Islam Revisited”
dalam American Journal of Islamic Social Science tahun 1995.
[1] Materi
ini disampaikan dalam kegiatan Pembekalan Kelompok Studi Ekonomi Islam (KSEI)
Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, tanggal
24 Februari 2013.
[2] Dosen
Pemikiran Ekonomi Islam, Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin .
makasih banyak mendatangkan manfaat
BalasHapussyukron katsir
BalasHapussyukron katsir
BalasHapusBagus sekali, menambah pengetahuan, terimakasih
BalasHapus