Halaman

Minggu, 24 Februari 2013

Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer


PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM KONTEMPORER[1]
Oleh: Abdul Gafur[2]

            Pemikiran ekonomi Islam kontemporer ini merupakan buah pikiran dari para ekonom Muslim pada abad ke-20 Masehi. Jika dalam pemikiran ekonomi Islam klasik dibagi menjadi 3 fase, maka pemikiran ekonomi Islam kontemporer ini dibagi menjadi 3 aliran, yaitu aliran Iqtishādunā, aliran Mainstream, dan aliran Alternatif. Masing-masing dari ketiga aliran ini memiliki corak pemikiran yang berbeda-beda.

1. Aliran Iqtishādunā
            Corak utama dari aliran ini adalah pemikirannya tentang masalah ekonomi yang muncul karena adanya distribusi yang tidak merata dan tidak adil sebagai akibat dari sistem ekonomi yang membolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Yang kuat memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat kaya. Sementara yang lemah tidak memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat miskin. Karena itu, masalah ekonomi muncul bukan karena sumber daya yang tidak terbatas, tetapi karena keserakahan manusia yang tidak terbatas.
            Aliran ini menolak pernyataan yang menyatakan bahwa masalah ekonomi disebabkan oleh adanya keinginan manusia yang tak terbatas sementara sumber daya alam yang tersedia jumlahnya terbatas. Karena hal tersebut bertentangan dengan firman Allah: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Q.S. al-Qamar: 49).
            Aliran ini dipelopori oleh Baqir Sadr. Nama aliran ini pun diambil dari nama karyanya Iqtishādunā. Menurutnya, ekonomi Islam adalah cara atau jalan yang dipilih oleh Islam untuk dijalani dalam rangka mencapai kehidupan ekonominya dan dalam memecahkan masalah ekonomi praktis sejalan dengan konsepnya tentang keadilan. Baginya, Islam tidak mengurusi hukum permintaan dan penawaran ... (tidak pula) hubungan antara laba dan bunga bank ... (tidak pula) fenomena diminishing returns di dalam produksi, yang baginya merupakan ”ilmu ekonomi”. Jadi menurutnya, ekonomi Islam adalah doktrin karena ia membicarakan semua aturan dasar dalam kehidupan ekonomi dihubungkan dengan ideologinya mengenai keadilan sosial. Sebagai doktrin, sistem ekonomi Islam juga berhubungan dengan pertanyaan ”apa yang seharusnya” berdasarkan kepercayaan, hukum, konsep dan definisi yang diambil dari Al-Qur’an dan Hadits. Di dalam doktrin ekonomi Sadr, keadilan menempati posisi sentral, sehingga menjadi tolak ukur untuk menilai teori, kegiatan dan output ekonomi.

2. Aliran Mainstream
            Corak utama dari pemikiran aliran ini adalah kebalikan dari aliran Iqtishādunā dalam memandang masalah ekonomi. Menurut aliran ini, masalah ekonomi timbul memang dikarenakan kelangkaan (scarcity) Sumber Daya Alam sementara keinginan manusia tidak terbatas. Untuk itu, manusia diarahkan untuk melakukan prioritas dalam memenuhi segala kebutuhannya. Dan keputusan dalam menentukan skala prioritas tersebut tidak dapat dilakukan semaunya sendiri karena dalam Islam sudah ada rujukannya sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
            Aliran ini ditokohi oleh 4 tokoh utama, yaitu Muhammad Abdul Mannan, Muhammad Nejatullah Siddiqi, Syed Nawab Haidar Naqvi, dan Monzer Kahf.
a. Muhammad Abdul Mannan.
            Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karya-karyanya; Islamic Economics: Theory and Practice (1970) dan The Making of Islamic Economic Society (1984). Ia mendefinisikan ekonomi Islam sebagai “ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.” Ketika ekonomi Islam dihadapkan pada masalah ”kelangkaan”, maka bagi Mannan, sama saja artinya dengan kelangkaan dalam ekonomi Barat. Bedanya adalah pilihan individu terhadap alternatif penggunaan sumber daya, yang dipengaruhi oleh keyakinan terhadap nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, menurut Mannan, yang membedakan sistem ekonomi Islam dari sistem sosio-ekonomi lain adalah sifat motivasional yang mempengaruhi pola, struktur, arah dan komposisi produksi, distribusi dan konsumsi. Dengan demikian, tugas utama ekonomi Islam adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi asal-usul permintaan dan penawaran sehingga dimungkinkan untuk mengubah keduanya ke arah distribusi yang lebih adil.
b. Muhammad Nejatullah Siddiqi.
          Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karya-karyanya; The Economic Enterprise in Islam (1971) dan Some Aspects of The Islamic Economy (1978). Ia mendefinisikan ekonomi Islam sebagai “respon para pemikir muslim terhadap tantangan ekonomi yang dihadapi pada zaman mereka masing-masing. Dalam usaha ini, mereka dibantu oleh Qur’an dan Sunnah, baik sebagai dalil dan petunjuk maupun sebagai eksprimen.” Siddiqi menolak determinisme ekonomi Marx. Baginya, ekonomi Islam itu modern, memanfaatkan teknik produksi terbaik dan metode organisasi yang ada. Sifat Islamnya terletak pada basis hubungan antarmanusia, di samping pada sikap dan kebijakan-kebijakan sosial yang membentuk sistem tersebut. Ciri utama yang membedakan perekonomian Islam dan sistem-sistem ekonomi modern yang lain, menurutnya, adalah bahwa di dalam suatu kerangka Islam, kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi merupakan sarana untuk mencapai tujuan spritual dan moral. Oleh karena itu, ia mengusulkan modifikasi teori ekonomi Neo-Klasik konvensional dan peralatannya untuk mewujudkan perubahan dalam orientasi nilai, penataan kelembagaan dan tujuan yang dicapai.
c. Syed Nawab Haidar Naqvi.
            Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karyanya; Ethics and Economics: An Islamic Synthesis (1981). Ia mendefinisikan ekonomi Islam sebagai “perilaku muslim sebagai perwakilan dari ciri khas masyarakat muslim.” Ada 3 tema besar yang mendominasi pemikiran Naqvi dalam ekonomi Islam. Pertama, kegiatan ekonomi dilihat sebagai suatu subjek dari upaya manusia yang lebih luas untuk mewujudkan masyarakat yang adil berdasarkan pada prinsip etika ilahiyyah, yakni keadilan (Al-’Adl) dan kebajikan (Al-Ihsān). Menurutnya, hal itu berarti bahwa etika harus secara eksplisit mendominasi ekonomi dalam ekonomi Islam, dan faktor etika inilah yang membedakan sistem ekonomi Islam dari sistem ekonomi lainnya. Kedua, melalui prinsip Al-’Adl wa Al- Ihsān, ekonomi Islam memerlukan suatu bias yang melekat dalam kebijakan-kebijakan yang memihak kaum miskin dan lemah secara ekonomis. Bias tersebut mencerminkan penekanan Islam terhadap keadilan, yang ia terjemahkan sebagai egalitarianisme. Ini adalah suatu butir penting yang sering kali ia tekankan dalam tulisannya. Dan ketiga adalah diperlukannya suatu peran utama negara dalam kegiatan ekonomi. Negara tidak hanya berperan sebagai regulator kekuatan-kekuatan pasar dan penyedia (supplier) kebutuhan dasar, tetapi juga sebagai partisipan aktif dalam produksi dan distribusi, baik di pasar barang maupun faktor produksi, demikian pula negara berperan sebagai pengontrol sistem perbankan. Ia melihat negara Islam sebagai perwujudan atau penjelmaan amanah Allah tatkala ia meletakkan negara sebagai penyedia, penopang dan pendorong kegiatan ekonomi.
d. Monzer Kahf.
            Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karyanya; The Islamic Economy: Analytical of The Functioning of The Islamic Economic System (1978). Ia tidak mengusulkan suatu definisi ”formal” bagi ekonomi Islam, tetapi karena ilmu ekonomi berhubungan dengan perilaku manusia dalam hal produksi, distribusi dan konsumsi, maka ekonomi Islam, menurutnya, dapat dilihat sebagai sebuah cabang dari ilmu ekonomi yang dipelajari dengan berdasarkan paradigma (yakni aksioma, sistem nilai dan etika) Islam, sama dengan studi ekonomi Kapitalisme dan ekonomi Sosialisme. Dengan pandangannya ini, ia mencela kelompok-kelompok ekonom Islam tertentu. Ia menengarai suatu kelompok yang mencoba untuk menekankan dengan terlalu keras perbedaan antara ekonomi Islam dan Barat. Kelompok itu tidak memahami bahwa perbedaan antara keduanya sebenarnya terletak pada filosofi dan prinsipnya, bukan pada metode yang digunakan. Di pihak lain, terdapat juga kelompok lain yang secara implisit menerima asumsi-asumsi ekonomi Barat yang sarat nilai. Kelompok lain yang ia tegur adalah mereka yang mecoba menyamakan antara ekonomi Islam dan Fiqih Mu’amalat. Kelompok ini, menurutnya, telah menyempitkan ekonomi Islam sehingga hanya berisi sekumpulan perintah dan larangan saja, padalah seharusnya mereka membicarakan hal-hal seperti teori konsumsi atau teori produksi. Semua kelompok tersebut tidak memahami posisi ekonomi Islam dalam kerangka atau kategorisasi cabang ilmu pengetahuan serta tidak pula bisa memisah-misahkan berbagai seginya seperti filosofinya, prinsip atau aksiomanya, serta fungsi aktualnya.

3. Aliran Alternatif
            Aliran ini dikenal sebagai aliran yang kritis secara ilmiah terhadap ekonomi Islam, baik sebagai ilmu maupun sebagai peradaban. Aliran ini mengkritik kedua aliran sebelumnya. Aliran Iqtishādunā dikritik karena dianggap berusaha menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya sudah ditemukan tokoh-tokoh sebelumnya, sedangkan aliran Mainstream dikritik sebagai jiplakan ekonomi aliran Neo-Klasik dan Keynesian dengan menghilangkan unsur riba serta memasukkan variabel zakat dan akad, sehingga tidak ada yang orisinil dari aliran ini. Namun aliran ini tidak hanya mengkritik ekonomi Islam saja, ekonomi konvensional pun juga telah dikritik.
            Tokoh-tokoh aliran ini adalah Timur Kuran, Sohrab Behdad, dan Abdullah Saeed.
a. Timur Kuran.
            Ia adalah seorang dosen ekonomi di Southern California University, USA. Pemikirannya bisa ditemukan dalam tulisan artikel-artikelnya, yaitu; “The Economyc System in Contemporary Islamic Thought: Interpretation and Assessment”, dalam International Journal of Middle East Studies Volume 18 tahun 1986, dan “On The Notion of Economic Justice in Contemporary Islamic Thought”, dalam International Journal of Middle East Studies Volume 21 tahun 1989.
b. Sohrab Behdad.
            Pemikirannya dapat ditemukan dalam tulisan artikelnya yang berjudul “Property Rights in Contemporary Islamic Economic Thought: A Critical Perspective” dalam jurnal Review of Social Economy Volume 47 tahun 1989.
c. Abdullah Saeed.
            Ia adalah seorang Profesor Studi Arab-Islam di University of Melbourne, Australia. Pemikirannya bisa ditemukan dalam tulisan artikel-artikelnya, yaitu; “Islamic Banking in Practice: A Critical Look at The Murabaha Financing Mechanism” dalam Journal of Arabic, Islamic & Middle Eastern Studies tahun 1993, dan “The Moral Context of The Prohibition of Riba in Islam Revisited” dalam American Journal of Islamic Social Science tahun 1995.


                [1] Materi ini disampaikan dalam kegiatan Pembekalan Kelompok Studi Ekonomi Islam (KSEI) Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, tanggal 24 Februari 2013.
                [2] Dosen Pemikiran Ekonomi Islam, Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin.

4 komentar: