Halaman

Senin, 10 Mei 2010

Perkembangan Bank Syariah di Indonesia


Perkembangan Bank Syariah di Indonesia 2003-2009[1]
Oleh: Abdul Gafur

A. Pendahuluan
            Perbankan berdasarkan prinsip syariah sudah bisa diprakekkan di Indonesia setelah diberlakukannya UU No. 7 tahun 1992, tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998.[2] Dengan diperkenalkannya jenis bank berdasarkan prinsip syariah, maka sistem perbankan Indonesia saat ini di samping bank konvensional yang kita kenal selama ini, bank dapat pula mendirikan Unit Usaha Syariah. Bahkan Unit Usaha Syariah dapat pula memisahkan diri (spin-off) dari induknya dengan berlakunya UU No. 21 Tahun 2008, dan mengkonversi kegiatan usahanya menjadi Bank Umum Syariah.[3] Karena kebijakan Bank Indonesia sebagai bank sentral mendorong agar bank induk rela melepas Unit Usaha Syariah-nya sehingga menjadi Bank Umum Syariah.
            Sistem perbankan syariah pada dasarnya merupakan perluasan jasa perbankan bagi masyarakat yang membutuhkan dan menghendaki pembayaran imbalan yang tidak didasarkan pada sistem bunga, melainkan atas dasar prinsip syariah sebagaimana yang digariskan oleh hukum (syariah) Islam. Bank syariah dalam menjalankan operasinya, tidak menggunakan sistem bunga sebagai dasar yang menentukan imbalan yang akan diterima atas jasa pembiayaan yang diberikan atau pemberian imbalan atas dana masyarakat. Penentuan imbalan yang diinginkan dan yang akan diberikan tersebut semata-mata didasarkan pada prinsip syariah. Kebalikannya dengan bank konvensional di mana imbalan selalu dihitung dalam bentuk bunga (dengan suatu persentase tertentu). Tingkat bunga yang dinyatakan dalam presentase tertentu tersebut merupakan aspek penting yang selalu terkait dengan kegiatan usaha bank konvensional.
            Dengan diperkenankannya pendirian bank syariah, diharapkan akan dapat saling melengkapi dengan lembaga-lembaga keuangan lainnya yang telah terlebih dahulu dikenal dalam sistem perbankan Indonesia. Di samping itu, pendirian bank syariah akan dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mana karena prinsip agama atau kepercayaan, tidak bersedia memanfaatkan jasa-jasa bank konvensional. Bagaimanapun juga banyak kelompok yang memiliki prinsip syariah bahwa sistem bunga yang dianut oleh perbankan merupakan pelanggaran terhadap syariah agama dan merupakan riba dalam hukum Islam. Prinsip utama operasi bank syariah ini didasarkan pada syariah Islam, yaitu hukum-hukum yang bersumber dari al-Qur`an dan Sunnah Rasul.
            Dalam penulisan makalah ini, akan disajikan sedikit tentang bank syariah sebagai lembaga keuangan yang terpenting dalam perwujudan sistem ekonomi Islam. Kemudian diikuti dengan perkembangan perbankan syariah yang ada di Indonesia.

B. Pembahasan 
1. Definisi bank syariah:
            Istilah "bank" telah menjadi istilah umum yang banyak dipakai di masyarakat dewasa ini. Ada istilah "bank darah" di Palang Merah, ada istilah "bank sperma" dalam lingkungan kesehatan, ada "bank data" bagi lembaga-lembaga penelitian, dan orang atau lembaga yang mengalami keruntuhan keuangan disebut bankrupt. Namun, istilah "bank" di sini mempunyai arti suatu lembaga intermediasi keuangan yang paling penting dalam sistem perekonomian, yaitu sistem lembaga khusus yang menyediakan layanan finansial.
            Kata "bank" jika ditelusuri, berasal dari kata banque dalam bahasa Perancis, dan banco dalam bahasa Italia, yeng berarti "kepingan papan tempat buku", sejenis "meja". Kemudian penggunaannya lebih diperluas untuk menunjukkan "meja" tempat penukaran uang.[4] Istilah banco itu sendiri mengambil dari nama bank konvensional pertama kali yang beroperasi di Venesia yaitu Banco della Pizza pada tahun 1587.[5] Bank inilah yang menjadi titik awal berkembangnya perbankan modern hingga saat ini.
            Bank dalam menjalankan usahanya menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali dalam berbagai alternatif investasi. Sehubungan dengan fungsi penghimpunan dana ini, bank sering pula disebut lembaga kepercayaan. Sejalan dengan karakteristik usahanya tersebut, maka bank merupakan suatu segmen usaha yang kegiatannya banyak diatur oleh pemerintah. Pengaturan secara ketat oleh penguasa moneter terhadap kegiatan perbankan ini tidak terlepas dari perannya dalam pelaksanaan kebijakan moneter. Bank dapat mempengaruhi jumlah uang beredar yang merupakan salah satu sasaran pengaturan oleh penguasa moneter dengan menggunakan berbagai piranti kebijakan moneter.
            Pengertian bank menurut UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU no. 10 tahun 1998, sebagai berikut:
            Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak.[6]
            Definisi bank di atas memberi tekanan bahwa bank dalam melakukan usahanya teriuama menghimpun dana, dalam bentuk simpanan yang merupakan sumber dana bank. Demikian pula dari segi penyaluran dananya, hendaknya bank tidak semata-mata memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pemilik tapi juga kegiatannya itu harus pula diarahkan pada peningkatan taraf hidup masyarakat. Definisi tersebut merupakan komitmen bagi setiap bank yang menjalankan usahanya di Indonesia.
            Sedangkan pengertian bank Islam adalah "lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariat Islam".[7] Oleh karena itu, usaha bank akan selalu berkaitan dengan masalah uang sebagai dagangan utamanya.
            Kegiatan dan usaha bank selalu berkait dengan komoditas antara lain: (1) pemindahan uang. (2) menerima dan membayarkan kembali uang dalam rekening koran. (3) mendiskonto surat wesel, surat order maupun surat-surat berharga lainnya. (4) membeli dan menjual surat-surat berharga. (5) membeli dan menjual cek wesel, surat wesel, kertas dagang. (6) membeli kredit. (7) memberi jaminan kredit.[8]      

2. Sekilas tentang sejarah bank Islam
            Gagasan mengenai bank yang menggunakan sistem bagi hasil muncul sejak lama, ditandai dengan banyaknya pemikir-pemikir muslim yang menulis tentang keberadaan bank syariah, misalnya Anwar Qureshi (1946) dan Nejatullah Siddiqi (1948). Kemudian uraian yang lebih terperinci tentang gagasan itu ditulis oleh Maududi (1961).
            Sejarah perkembangan bank syariah modern tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940, yaitu upaya pengelolaan dana jamaah haji secara non-konvensional. Rintisan bank syariah lainnya adalah dengan berdirinya Mit Ghamr Lokal Saving Bank pada tahun 1963 di Mesir oleh Dr. Ahmad an-Najjar. Permodalan bank ini dibantu oleh Raja Faisal dari Arab Saudi. Bank pedensaan yang beroperasi tanpa bunga dan sejalan dengan prinsip-prisnip syariah ini sangat populer dan pada mulanya tumbuh dengan baik. Empat tahun kemudian Mit Ghamr dapat membuka sembilan cabang dengan nasabah sekitar satu juta orang. Namun pada tahun 1976, karena persoalan politik, bank ini ditutup. Pada tahun pertengahan 1976, bank ini diambil oleh National Bank of Egypt dan Central Bank of Egypt, sehingga beroperasi atas dasar bunga. Pada tahun 1972, sistem bank tanpa bunga diperkenalkan lagi dengan berdiirnya Nasser Social Bank di Mesir.[9]
            Secara kolektif gagasan berdirinya bank syariah di tingkat internasional, muncul dalam konferensi negara-negara Islam sedunia, di Kuala Lumpur, Malaysia pada tanggal 21-27 April 1969, yang diikuti oleh 19 negara peserta. Konferensi tersebut memutuskan beberapa hal, yaitu:[10]
  1. Tiap keuntungan haruslah tunduk kepada hukum untung dan rugi, jika tidak, ia termasuk riba, dan riba itu sedikit atau banyak, hukumnya haram.
  2. Diusulkan supaya dibentuk suatu bank syariah yang bersih dari sistem riba dalam waktu secepat mungkin.
  3. Sementara menunggu berdirinya bank syariah, bank-bank yang menerapkan bunga diperbolehkan beroperasi. Namun, jika benar-benar dalam keadaan darurat.
            Bulan juli 1973, komite ahli yang mewakili negara-negara Islam penghasil minyak bertemu di Jeddah, Arab Saudi untuk membicarakan pendirian bank syariah. Rancangan pendirian bank tersebut, berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, dibahas pada pertemuan kedua, Mei 1975. Pada sidang Menteri keuangan OKI di Jeddah, 1974, disetujui rancangan pendirian Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 miliar dinar atau ekuivalen 2 miliar SDR (special drawing right).[11]
            Berdirinya IDB memotivasi negara-negara Islam untuk mendirikan lembaga keuangan syariah. Pada akhir dekade 1070-an dan awal dekade 1980-an, lembaga keuangan syariah bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, serta Turki. Selain itu, beberapa negara non-muslim juga mendirikan bank Islam, seperti Inggris, Denmark, Swiss, dan Luxemburg. Secara garis besar, lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut dimasukkan dalam dua kategori, yaitu bank Islam komersial, dan lembaga investasi dalam bentuk International Holding Companies.[12]
            Pesatnya perkembangan bank syariah menimbulkan ketertarikan bank konvensional untuk menawarkan produk-produk bank syariah. Hal tersebut tercermin dari tindakan beberapa bank konvensional yang membuak sistem tertentu pada masing-masing bank dalam menawarkan produk bank syariah, misalnya "Islamic windows" di Malaysia.
            Berkembangnya bank-bank syariah di negara-negara Islam mempengaruhi Indonesia. Pada awal dekade 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Dan beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas telah diwujudkan. Di antaranya adalah Baitut Tamwil – Salman, Bandung, yang sempat tumbuh mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti.
            Akan tetapi, prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di Indonensia baru dilakukan pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agsutus 1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil Lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di hotel Sahid Jaya Jakarta, 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas IV MUI, dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia.[13]
            Kelompok kerja yang disebut Tim Perbankan MUI, bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.
            Dari hasil kerja Tim Perbankan MUI, lahirlah Bank Muamalat Indonesia (BMI). Pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 November 1991. Pada saat penandatanganan akte pendirian ini terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak Rp 84 miliar.[14]
            Pada tanggal 3 November 1991, dalam acara silaturrahmi Presiden di Istana Bogor, dapat dipenuhi dengan total komitmen modal disetor awal sebesar Rp 106.126.382.000,00. Dengan modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992, Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi.[15]

3. Tujuan bank syariah
            Bank syariah mempunyai beberapa tujuan, di antaranya sebagai berikut:[16]
a.        Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk bermuamalah secara Islami, khususnya muamalah yang berhubungan dengan perbankan agar terhindar dari praktek-praktek riba atau jenis-jenis usaha/perdagangan lain yang mengandung unsur gharar, di mana jenis-jenis usaha tersebut selain dilarang dalam Islam, juga telah menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan ekonomi rakyat.
b.        Untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi dengan jalan meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi, agar tidak terjadi kesenjangan yang amat besar antara pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana.
c.        Untuk meningkatkan kualitas hidup umat dengan jalan membuka peluang berusaha yang lebih besar terutama kelompok miskin, yang diarahkan kepada kegiatan usaha yang produktif, menuju terciptanya kemandirian usaha.
d.        Untuk menanggulangi masalah kemiskinan, yang pada umumnya merupakan program utama dari negara-negara yang sedang berkembang. Upaya bank di dalam mengentaskan kemiskinan ini berupa pembinaan nasabah yang lebih menonjol sifat kebersamaan dari siklus usaha yang lengkap seperti program pembinaan pengusaha produsen, pembinaan pedagang perantara, program pembinaan konsumen, program pengembangan modal kerja dan program pengembangan usaha bersama.
e.        Untuk menjaga stabilitas ekonomi dan moneter. Dengan aktivitas bank syariah akan mampu menghindari pemanasan ekonomi diakibatkan adanya inflasi, menghindari persaingan yang tidak sehat antara lembaga keuangan.
f.        Untuk menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap bank non-syariah.

4. Struktur Organisasi Bank Syariah
            Salah satu ciri yang membedakan antara bank syariah dengan bank konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada bank syariah. DPS bertugas mengawasi segala aktivitas bank agar selalu sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Dengan kata lain, DPS bertanggungjawab atas produk dan jasa yang ditawarkan kepada masyarakat agar sesuai dengan prinsip syariah. Investasi atau proyek yang ditangani oleh bank harus juga sesuai dengan prinsip syariah, dan tentu saja bank itu sendiri harus dikelola sesuai dengan prinsip syariah.
            Di Indonesia, otoritas masalah keagamaan berada di bawah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dengan berkembangnya lembaga keuangan Islami di Indonesia, maka berkembang pula jumlah DPS. Untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kebingungan di kalangan umat Islam akibat beragamnya DPS, MUI sebagai payung dari lembaga dan organisasi keislaman di Indonesia menganggap perlu dibentuknya suatu dewan syariah yang bersifat nasional dan membawahi seluruh lembaga keuangan syariah. Pada bulan Juli 1997 dalam acara Lokakarya Reksadana Syariah dihasilkan rekomendasi pembentukan Dewan Syariah Nasional (DSN). Lembaga ini didirikan pada tahun yang sama dan merupakan badan otonom MUI. Sedangkan kegiatan sehari-hari DSN dilaksanakan oleh Badan Pelaksana Harian DSN. Bagi perusahaan yang akan membuka bank syariah atau cabang syariah dari bank konvensional atau lembaga keuangan syariah lainnya, mereka harus mengajukan rekomendasi anggota DPS kepada DSN.[17]
            Berdasarkan laporan dari DPS pada masing-masing lembaga keuangan syariah, DSN dapat memberikan teguran jika lembaga yang bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan. Jika lembaga yang bersangkutan tidak mengindahkan teguran yang diberikan, DSN dapat mengajukan rekomendasi kepada lembaga yang memiliki otoritas, seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan, untuk memberikan sangsi.

Bank Umum Syariah (BUS):

RUPS/Rapat Anggota
                 
                 Dewan Komisaris                                          Dewan Pengawas Syariah
 


Dewan Audit                                      Direksi
 


            Divisi                                         Divisi                                     Divisi
 



Kantor Cabang                               Kantor Cabang                     Kantor Cabang


Cabang Syariah dari Bank Konvensional:


RUPS/Rapat Anggota
                 
                 Dewan Komisaris                                          Dewan Pengawas Syariah
 


Dewan Audit                                      Direksi
 


            Divisi                                         Divisi                                     Divisi UUS
 
   
     Kantor Cabang       Kantor Cabang                     KC Syariah          KC Syariah

5. Perkembangan perbankan syariah di Indonesia
a. Perkembangan kelembagaan
            Secara institusional, dalam tahun 2008 jumlah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah meningkat menjadi 5 Bank Umum Syariah, 27 unit usaha syariah (UUS) dari bank umum konvensional dan 131 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Peningkatan tersebut terjadi karena adanya konversi 2 bank umum konvensional menjadi Bank Umum Syariah yaitu Bank Bukopin Syariah dan Bank BRI Syariah. Sementara pada tahun 2009, PT. Bank Harfa telah mengkonversi kegiatan usahanya menjadi PT. Bank Panin Syariah.
            Di samping peningkatan jumlah bank syariah yang beroperasi, jaringan kantor bank syariah juga menunjukkan pertumbuhan yang sangat signifikan. Selama periode laporan, jumlah kantor bank syariah (termasuk kantor kas dan kantor cabang pembantu) bertambah 187 kantor dari jumlah 953 kantor pada akhir tahun 2008 menjadi 1140 kantor pada akhir tahun 2009. Pertumbuhan jumlah dan jaringan kantor bank syariah tersebut di samping sejalan dengan hasil penelitian bank Indonesia mengenai potensi pengembangan perbankan syariah di sejumlah daerah, juga tidak terlepas dari kebijakan bank Indonesia yang mendukung perluasan jaringan kantor bank syariah khususnya di luar wilayah ibu kota propinsi. Dengan demikian jaringan perbankan syariah kini telah hadir di hampir sebagian besar propinsi.
Jaringan Kantor Bank Syariah[18]
Kelompok Bank
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
BUS
2
3
3
3
3
5
6
UUS
8
15
19
20
26
27
25
BPRS
84
86
92
105
114
131
138
Jumlah Kantor
299
401
550
636
711
953
1140

b. Kinerja usaha
            Selama periode laporan tahun 2007, besarnya pembiayaan yang diberikan oleh perbankan syariah mengalami peningkatan 2,5 % atau sebesar Rp. 7,549 triliun dari tahun 2006. Dari segi jenisnya, pertumbuhan pembiayaan berbasis bagi hasil yang terdiri atas pembiayaan mudharabah dan musyarakah ternyata melebihi pertumbuhan pembiayaan berbasis jual beli, walaupun tahun 2007 pangsa pembiayaan bagi hasil mengalami penurunan 5.5 % dibandingkan posisi setahun sebelumnya. Beberapa faktor yang diperkirakan mempengaruhi peningkatan pangsa pembiayaan bagi hasil tersebut di antaranya adalah meningkatnya kerja sama bank syariah dengan lembaga keuangan non-bank seperti koperasi dan pegadaian, serta adanya proyek-proyek jangka pendek infrastruktur dan public service.
Komposisi Pembiayaan yang Diberikan[19]
Jenis Pembiayaan
Jumlah (Milyar)
Pertumbuhan
Pangsa
2006
2007
2006
2007
2006
2007
Musyarakah
2,335
4,406
23.0%
88.7%
11.4%
15.8%
Mudharabah
4,062
5,578
30.0%
37.3%
19.9%
20.0%
Piutang Murabahah
12,624
16,553
33.1%
31.1%
61.7%
59.2%
Piutang Istishna
337
351
19.6%
4.2%
1.6%
1.3%
Qard
250
540
100.6%
115.6%
1.2%
1.9%
Ijarah
836
516
164.7
(38.3%)
4.1%
1.8%
Total
20,445
27,994
34.2%
36.7%
100.0%
100.0%
           
            Dominasi penggunaan akad murabahah dalam pembiayaan tidak terlepas dari beberapa faktor, antara lain karakteristik pembiayaan murabahah yang return-nya dapat diperkirakan serta relatif lebih mudah dalam pengelolaan likuditas bank.[20] Sedangkan porsi pembiyaan Profit and Loss Sharing (PLS) yaitu mudharabah dan musyarakah yang rendah, tidak terlepas dari karakteristik skim tersebut yang memiliki tingkat risiko lebih tinggi sehingga bank-bank syariah yang fokus kegiatannya masih berorientasi pada pertumbuhan lebih menyukai produk pembiayaan non PLS, seperti murabahah. Selain itu, pembiayaan PLS memerlukan extra effort, yaitu penerapan transpransi, pengawasan intensif, tertib administrasi, dan penguasaan know how bisnis yang dibiayai. Sedikitnya informasi yang tersedia mengenai prospek bisnis, peringkat mitra strategis dan market discipline termasuk faktor yang menjadi kendala bank-bank syariah melakukan ekspansi ke pembiayaan PLS.[21]   
\s
c. Konsep Pengembangan[22]
            Konsep pengembangan perbankan syariah di masa depan disusun dengan visi, misi, dan strategi sebagai berikut: Visi: Menjadikan perbankan syariah sebagai urat nadi perekonomian nasional yang berkah. Artinya perbankan syariah mampu memerankan fungsinya yang utama sebagai lembaga intermediasi dan setiap aktivitasnya selalu menambah kebaikan bagi semua pihak (berkah).
          Untuk mencapai visi tersebut, maka misi perbankan syariah adalah:
  1. Menjadi lembaga keuangan yang profesional dan dapat dipercaya sehingga menjadi tempat bagi proses akumulasi kapital masyarakat.
  2. Menjadi fasilitator dalam pengembangan ekonomi umat dan masyarakat Indonesia melalui perannya sebagai sumber permodalan yang mudah dan murah dan menjadi mitra sejati bagi para pelaku ekonomi lainnya.
  3. Menjadi lokomotif perekonomian yang berdasarkan syariah. Perbankan syariah diharapkan dapat mendorong berkembangnya sektor ekonomi lain berlandaskan syariah seperti asuransi, reksadana, dan perusahaan pembiayaan.
  4. Membina jaringan networking yang luas, baik dalam skala nasional maupun internasional.
            Staretegi utama dalam konsep pengembangan perbankan syariah di masa depan adalah "transformasi". Transformasi ini terutama harus dilakukan oleh kalangan internal perbankan syariah. Adapun proses transformasi yang diperlukan adalah:
Transformasi 1: Dari Produk Syariah ke Corporate Syariah
            Di masa depan, perbankan syariah tidak cukup hanya mendasarkan pada produk-produk syariahnya. Masyarakat tidak hanya menilai produknya, tetapi juga sistem manajemen, profil personalia, serta service delivery-nya. Dengan kata lain, perbankan syariah juga harus berarti semua aspek operasional yang dijalankan benar-benar berlandaskan pada syariah.
Transformasi 2: Dari Sentimen Emosional ke Rasional Professional
            Salah satu kelemahan perbankan syariah adalah masih banyaknya kalangan perbankan syariah yang membidik sasarannya pada para loyalis syariah atau yang fanatik pada syariah. Artinya, perbankan lebih mencari pelanggan yang mementingkan sentimen-emosional daripada pertimbangan rasional-professional. Content dari komunikasinya masih menonjolkan isu halal-haram atau isu riba, dan kurang menonjolkan isu value yang diraih oleh pelanggan. Pendekatan seperti ini tidak dapat diandalkan untuk jangka panjang. Ada dua alasan yang mendasarinya; pertama, jumlah orang yang fanatik jauh lebih sedikit dibanding segmen pasar yang mengambang (floating market). Pasar yang mengambang ini umumnya akan mencari perbankan yang dapat memberi value lebih tinggi. Kedua, ketika jumlah perbankan syariah sudah banyak dan persaingan sudah meningkat, maka isu riba sudah tidak relevan lagi.
          Persaingan akan bergeser kepada perbankan mana yang dapat memberikan value dan pelayanan yang lebih baik. Oleh karena itu, perbankan di masa depan sudah harus mengemas komunikasi yang lebih menekankan pada aspek-aspek rasional dalam proses pengambilan keputusan pelanggan. Isu halal-haram atau isu riba harus menjadi isu sekunder, sedangkan isu primernya adalah profesionalisme dari perbankan serta pelayanan yang akan diterima oleh pelanggan.
Transformasi 3: Dari Pelanggan Muslim ke Pelanggan Umum
            Perbankan syariah juga harus membuka diri dan secara proaktif 'menjemput bola' pelanggan umum dan non-muslim. Image bahwa perbankan syariah hanya untuk kaum muslim harus segera diubah. Dengan demikian, maka komunikasi yang dijalankan tidak lagi mengangkat isu riba, tetapi isu-isu profesionalisme.
Transformasi 4: Dari Pengusaha Besar kepada Orientasi yang lebih Adil
            Konsep perbankan syariah di masa depan harus mampu menciptakan distribusi yang adil antar pengusaha besar dan kecil, serta antar pusat dan daerah. Untuk mendukung konsep ini, perbankan syariah harus membatasi pembukaan kantor cabangnya hingga level kota/kabupaten. Sedangkan level kecamatan menjadi porsi bagi BPRS-BPRS. Pada level kantor cabang pun, harus ada kebijakan untuk mengalokasikan dana kreditnya kepada pengusaha-pengusaha di daerah. Ini untuk menghindari terserapnya dana masyarakat secara berlebihan ke pusat serta untuk mendorong perputaran dana dan investasi di daerah.
Transformasi 5: Dari Motif Investasi ke Akumulasi Modal
            Dalam pandangan hukum Islam, investasi yang bernilai adalah pada sektor usaha karena akan membuka lapangan kerja, mengolah sumber daya, serta meningkatkan pendapatan. Oleh karena itu, di masa depan perbankan syariah harus mempelopori pemberian "kredit murah" sehingga memotivasi masyarakat untuk berinvestasi pada sektor-sektor usaha.
          Agar proses transformasi berjalan dengan baik, paling tidak dibutuhkan tiga faktor penunjang, yaitu pertama, adanya dukungan dari pemerintah dan DPR dalam bentuk perundang-undangan serta dalam menciptakan iklim perekonomian yang kondusif. Dan RUU tentang perbankan syariah ini sudah mendapat persetujuan dari DPR.[23] Kedua, adanya pengembangan produk. Agar dapat bersaing dengan perbankan konvensional maka produk-produk yang diberikan harus lebih lengkap, misalnya dengan adanya kartu kredit syariah. Ketiga, adanya dukungan positif dari masyarakat. Hal ini bisa terjadi jika dikembangkan program komunikasi dan sosialisasi secara terpadu. Program ini bertujuan untuk meningkatkan awareness dan attitude terhadap perbankan syariah, dan image building. Adapun saluran-saluran komunikasi dan sosialisasi yang dapat dipergunakan adalah: advertising dari bank syariah, generic advertising dari asosiasi perbankan syariah, pendidikan formal dan nonformal, ulama dan tokoh masyarakat, serta publikasi melalui buku dan media massa.  

C. Kesimpulan
            Dengan melihat perkembangan perbankan syariah yang pesat saat ini, ada beberapa faktor yang mungkin bisa dijadikan sebagai pemicu perkembangannya, di antaranya adalah ketangguhan bank syariah terhadap "badai" krisis yang melanda Indonesia, fatwa MUI yang telah mengharamkan bunga bank pada Desember 2003, dan terjadinya peningkatan profitabilitas, serta meningkatnya perolehan laba.
            Dari data-data yang menunjukkan perkembangan syariah beberapa tahun belakangan ini, mulai dari semakin banyaknya muncul bank-bank syariah sampai kepada pertumbuhan asetnya, bisa diperkirakan pada tahun-tahun berikutnya bank-bank syariah akan berkembang lebih cepat lagi.
                                                                                                Wallahu a`lam
             
DAFTAR ISTILAH

BUS                 Bank Umum Syariah
BPRS               Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
DPK                 Dana Pihak Ketiga
DPS                  Dewan Pengawas Syariah
DSN                 Dewan Syariah Nasional
UUS                 Unit Usaha Syariah
Ijarah               Transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan atau upah mengupah atas suatu jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa
Istishna’            Jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan
Mudharabah    Penanaman dana dari pemilik dana (shahibul mal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya
Murabahah      Jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati
Musyarakah     Penanaman dana dari pemilik dana/modal untuk mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung semua pemilik dana/modal berdasarkan bagian dana/modal masing-masing
Piutang             Tagihan yang timbul dari transaksi jual beli berdasarkan akad murabahah, salam atau istishna’ dan atau pinjam meminjam berdasarka qardh
Shahibul mal    Dalam kontrak mudharabah, seseorang atau pihak yang menginvestasikan modalnya
Qardh               Pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak pinjam meminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu

 DAFTAR PUSTAKA

Antonio, Muhammad Syafi`i, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, cet. ke-8, Desember 2004
Arifin, Zainul, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta: Azkia Publisher, April 2009, cet. Ke-7
Bank Indonesia, Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Tahun 2007
Bank Indonesia, Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Tahun 2008
Bank Indonesia, Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Tahun 2009
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, edisi keempat 2004
Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, cet. ke-2, 1994, jilid 1
Hamidi, M. Luthfi, Jejak-Jejak Ekonomi Syariah, Jakarta: Senayan Abadi Publishing, ceet. Ke-1, Mei 2003
Karim, Adiwarman, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, edisi kedua, cet. ke-1, Maret 2004
Muslehuddin, Muhammad, Banking and Islamic Law, New Delhi: International Islam Publishers, 1st edition, 1992
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta: Ekonisia, cet. ke-2, Juni 2004
Sumitro, Warkun, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, cet. ke-4, Juni 2004
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah, Jakarta: Djambatan, 2003, cet. Ke-2
Zuhri, Muhammad, Riba dalam al-Qur`an dan Masalah Perbankan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, cet. ke-2, April 1997



                [1] Makalah yang dipresentasikan dalam acara “Launching of S1 Perbankan Syariah”  tanggal 8 Mei 2010 di Aula Perpustakaan Pusat IAIN Antasari Banjarmasin.
                [2] Antonio, Muhammad Syafi`i, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, Desember 2004, cet. ke-8, hal. 26.  
                [3] Bank Indonesia, Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Tahun 2009
                [4] Muslehuddin, Muhammad, Banking and Islamic Law, New Delhi: International Islam Publishers, 1992, 1st edition , p. 5.
                [5] Arifin, Zainul, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta: Azkia Publisher, April 2009, cet. Ke-7, hal. 6.
                [6] Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004, edisi ke-4, hal. 87.
                [7] Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, cet. Ke-2, jilid 1, hal. 231.
                [8] Ibid.
                [9] Karim, Adiwarman, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, edisi kedua, Maret 2004, cet. Ke-1, hal. 22.  
                [10] Zuhri, Muhammad, Riba dalam al-Qur`an dan Masalah Perbankan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, April 1997, cet. Ke-2, hal. 159.
                [11] Antonio, Op.cit., hal. 21.
                [12] Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta: Ekonisia, Juni 2004, cet. Ke-2, hal. 29.
                [13] Antonio, op.cit., hal. 25.
                [14] Ibid.  
                [15] Ibid.
                [16] Sumitro, Warkun, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Juni 2004, cet. Ke-4, hal. 17-18.  
                [17] Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah, Jakarta: Djambatan, 2003, cet. Ke-2, hal. 28.
                [18] Data diambil dari Bank Indoensia, Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Tahun 2009,  hal. 13.  
                [19]   Bank Indonesia, Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Tahun 2007, hal. 22.
                [20] Hamidi, M. Luthfi, Jejak-Jejak Ekonomi Syariah, Jakarta: Senayan Abadi Publishing, Mei 2003, cet. Ke-1, hal. 6.
                [21] Bank Indonesia, Op.cit., hal. 6..
                [22] Hilman, Iman, Republika Online, Kamis, 28 Agustus 2003.
                [23] Lihat Republika, Rabu, 28 September 2005, hal. 15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar