Kebijakan Ekonomi di Masa Pemerintahan
Khalifah Umar bin Khattab
Oleh: Abdul Gafur
A. Pendahuluan
Kajian
tentang sejarah sangat penting bagi ekonomi, karena sejarah adalah laboratarium
umat manusia. Ekonomi sebagai salah satu ilmu sosial, perlu kembali kepada
sejarah agar dapat melaksanakan eksperimen-eksperimennya dan menurunkan kecenderungan-kecenderungan
jangka panjang dalam berbagai variabel ekonomiknya. Sejarah memberikan dua
aspek utama kepada ekonomi, yaitu sejarah pemikiran ekonomi dan sejarah
unit-unit ekonomi seperti individu-individu, badan-badan usaha dan ilmu ekonomi
(itu sendiri).[1]
Kajian
tentang sejarah pemikiran ekonomi dalam Islam seperti ini akan membantu
menemukan sumber-sumber pemikiran ekonomi Islam kontemporer, di satu pihak, dan
di pihak lain, akan memberi kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan pemahaman
yang lebih baik mengenai perjalanan pemikiran ekonomi Islam selama ini. Kedua-duanya
akan memperkaya ekonomi Islam kontemporer dan membuka jangkauan lebih luas bagi
konseptualisasi dan aplikasinya.[2]
Di
antara beberapa kajian sejarah pemikiran ekonomi adalah kajian ekonomi di zaman
Khulafâ Râsyidûn dan sistem perekonomian yang dibangun pada masa
pemerintahan mereka. Di zaman itu, terdapat beberapa sistem perekonomian Islam,
seperti penarikan zakat yang tegas di zaman Abu Bakar, dan beberapa reformasi
dan perombakan sistem yang digalakkan pada masa khalifah Umar bin Khattab,
bahkan ada sistem yang baru dikenal dan dicetuskan dalam sejarah Islam di
periode pemerintahannya. Kemudian sumber daya alam dikembangkan di zaman Utsman
bin Affan dan penghargaan terhadap para pensiunan pada masa Ali bin Abi Thalib
menjadi khalifah.
Salah
satu khalifah yang paling sukses dari Khulafâ Râsyidûn tersebut dalam
memimpin dan mensejahterakan rakyatnya adalah Umar bin Khattab. Sosok Umar
dikenal tegas dalam memimpin, sederhana dalam kehidupan sehari-harinya, dan
taat dalam beragama. Sosok kepemimpinan seperti ini sangat jarang, bahkan tidak
ditemukan di zaman sekarang ini. Karena itulah diperlukan suatu kajian tentang
kesuksesan Umar dalam memimpin, agar bisa dijadikan teladan oleh para pemimpin
mana pun.
Aspek
yang bisa dikaji dalam makalah ini adalah kajian terhadap reformasi sistem
ekonomi yang telah diberlakukannya. Karena bidang ekonomi merupakan salah satu bidang
yang paling utama dalam mengukur kesuksesan suatu pemerintahan. Banyak kalangan
sejarawan yang menilai bahwa Umar sukses mensejahterakan perekonomian umat
muslim dan non-muslim saat itu. Maka dalam tulisan makalah yang sederhana ini, penulis
akan mengulas kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh Umar bin Khattab di
bidang ekonomi saat menjabat sebagai khalifah. Kajian kebijakan ekonomi Umar
ini difokuskan pada tiga kebijakan, yaitu pendirian lembaga baitul mal,
pendirian lembaga al-hisbah, dan reformasi kepemilikan tanah, berdasarkan
pada data-data sejarah yang penulis kumpulkan dari berbagai sumber. Semoga
tulisan makalah ini dapat menambah khazanah keilmuan kita di kemudian hari.
B.
Pembahasan
1. Sekilas tentang Umar bin Khattab
Nama
beliau adalah Umar bin Khattab, putera dari Nufail al-Quraisy, dari suku Bani
Aidi. Di masa jahiliyyah, Umar bekerja sebagai seorang saudagar. Dia menjadi
duta kaumnya di kala timbul peristiwa-peristiwa penting antara kaumnya dengan
suku Arab yang lain.[3]
Umar masuk Islam tatkaka berumur dua puluh enam tahun.[4]
Beliau
diberi gelar dengan nama "al-Fârûq", karena dengan pribadi
Umar itulah Allah membedakan antara yang hak dan yang batil. Sesuai dengan doa
Nabi saw terhadapnya: "Ya Allah! Muliakan Islam dengan kehadiran Umar".[5]
Umar
menerima jabatan khalifah dengan wasiat dari Abu Bakar ra, kemudian disepakati
oleh kaum muslimin saat itu. Abu Bakar mengambil inisiatif seperti ini, karena
ia berpikir jika tidak dicalonkan siapa yang akan menggantikannya, ia khawatir
akan terjadi perpecahan di kalangan umat Islam seperti sebelum pengangkatannya
sebagai khalifah. Ketika itu hampir saja terjadi perebutan kekuasaan pemerintahan
antar kaum muslimin. Terlebih lagi saat itu umat Islam sedang berperang
menghadapi bangsa Persia dan Romawi.
Ketika
Umar memegang tampuk kursi khilafah menggantikan Abu Bakar ra pada tahun 13 H,
ia menyebut dirinya dengan gelar "Khalîfatu khalîfati Rasûlillâh",
yaitu pengganti penggantinya Rasulullah saw. Selain itu, gelar yang disandang
oleh Umar dalam memegang urusan khilafah adalah "amîrul mukminîn".
Hal ini disebabkan karena gelar "khalîfatu khalîfati Rasûlillâh"
terlalu panjang hingga sebagian sahabat berkumpul dan mengeluarkan ide dengan
gelar baru: "Kami adalah orang-orang beriman sedangkan Umar adalah
pemimpinnya (amir)".[6]
Sejak itulah gelar “amîrul mukminîn” untuk sang khalifah populer, dan Umar
merupakan orang yang pertama kali mendapat gelar tersebut sebagai khalifah.
Saat
Umar memerintah, wilayah kekuasaan Islam sudah begitu meluas, yang mana
meliputi jazirah Arab, sebagain wilayah kekuasaan Romawi (Syria, Palestina, dan
Mesir), serta seluruh kekuasaan Persia, termasuk Irak.[7]
Karena luasnya wilayah kekuasaan Islam, maka Umar memerlukan usaha yang keras
dan kontinyu, baik optimalisasi devisa negara, perencanaan sistem ekonomi,
anggaran, operasional kerja ataupun pengawasannya.
Selama
Umar memimpin pemerintahan, ia sangat memperhatikan rakyat yang dipimpinnya. Ia
selalu mendengarkan keluhan dan protes rakyatnya, jalan ke pasar, keliling
mengontrol rakyatnya di jalan, bahkan sering dengan menyamar sebagai rakyat
biasa, sebab sulit membedakan antara penampilan dirinya dengan rakyat biasa
jika tidak pernah mengenalnya.
Umar
wafat pada hari rabu bulan dzulhijjah 23 H. Ia ditikam oleh seseorang yang
bernama Abu Lu`lu`ah, ketika sedang memimpin solat subuh berjamaah. Periode
pemerintahannya berlangsung selama 10 tahun 5 bulan 21 malam.[8]
2.
Membangun Lembaga Baitul Mâl
Al-Mawardi
menyebutkan bahwa baitul mâl adalah semacam pos yang dikhususkan untuk
semua pemasukan dan pengeluaran harta yang menjadi hak kaum muslimin. Tiap hak
yang wajib dikeluarkan untuk kepentingan kaum muslimin maka hak tersebut
berlaku untuk baitul mâl, maka harta tersebut telah menjadi bagian dari
pengeluaran baitul mâl, baik dikeluarkan dari kasnya maupun tidak.[9]
Adapun
kewajiban baitul mâl adalah untuk mengamankan harta benda yang tersimpan
di kas, dan untuk mengurus penerimaan kekayaan perbendaharaan yang meliputi:[10]
- Mengurus nilai yang diterima, umpamanya dengan cara kompensasi untuk membayar para serdadu atau harga senjata dan kuda.
- Mengurus kepentingan umum.
Sebenarnya
gagasan sistem baitul mâl (puclic treasury) ini sudah ada dan
dikenal di zaman Rasulullah saw dan khalifah yang pertama, Abu Bakar
ash-Shiddiq ra, namun tidak secara kelembagaan. Di zaman pemerintahan Umar bin
Khattab, fungsi baitul mâl lebih dikembangkan dan diefektifkan lagi,
dengan mendirikan lembaga khusus untuk pengurusan dan pengelolaannya.
Dalam
catatan sejarah, pembangunan institusi baitul mâl dilatarbelakangi oleh
kedatangan Abu Hurairah yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Bahrain
dengan membawa harta hasil pengumpulan pajak al-kharâj sebesar 500.000
dirham. Hal ini terjadi pada tahun 16 H. Oleh karena itulah, Umar mengambil
inisiatif memanggil dan mengajak bermusyawarah para sahabat terkemuka tentang
penggunaan harta hasil pengumpulan pajak tersebut. Maka seluruh anggota kabinet
(syûrâ) bersidang dan diminta pendapat mereka tentang penggunaan uang
tersebut. Sahabat Ali lebih cenderung membagikannya kepada umat, tapi khalifah
Umar menolak. Pada saat-saat yang menentukan itu, Walid bin Hisyam menyatakan
bahwa dia pernah melihat raja Syria menyimpan harta benda secara terpisah dari
badan eksekutif. Umar menyetujui pendapat ini dan lembaga perbendaraan umat
Islam pun mulai terbentuk nyata. Harta benda tersebut pertama kali disimpan di
ibukota Madinah. Dan untuk menangani lembaga tersebut, Umar menunjuk Abdullah bin
Arqam sebagai bendahara negara dengan Abdurrahman bin Ubaid al-Qari dan Muayqab
sebagai wakilnya.[11]
Riwayat
pendirian baitul mâl secara institusional di atas mengisyaratkan bahwa
ide pendirian tersebut tidak orisinil dari Islam, akan tetapi berasal dari
pengaruh pemerintahan-pemerintahan yang ada di masa itu, seperti pemerintahan
kerajaan Romawi dan Persia. Adopsi sistem keuangan tersebut tidak lantas
menyebabkan Umar akan mengaplikasikannya sama seratus persen dengan sistem
pemerintahan kerajaan yang lain. Akan tetapi sistem dari non-Islam itu tetap
dipilah dan dipilih sehingga tidak menyalahi aturan ketentuan syariat
Islam.
Kebijakan
yang diterapkan oleh Umar dalam lembaga baitul mâl di antaranya adalah
dengan mengklasifikasikan sumber pendapatan negara menjadi empat, yaitu:
- Pendapatan zakat dan `ushr. Pendapatan ini didistribusikan di tingkat lokal dan jika terdapat surplus, sisa pendapatan tersebut disimpan di baitul mâl pusat dan dibagikan kepada delapan ashnâf, seperti yang telah ditentukan dalam al-Qur`an.
- Pendapatan khums dan sedekah. Pendapatan ini didistribusikan kepada fakir miskin atau untuk membiayai kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah ia seorang muslim atau bukan.
- Pendapatan kharâj, fai, jizyah, `ushr, dan sewa tanah. Pendapatan ini digunakan untuk membayar dana pensiun dan dana bantuan serta untuk menutupi biaya operasional administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.
- Pendapatan lain-lain. Pendapatan ini digunakan untuk membayar para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.[12]
Klasifikasi
sumber pendapatan negara di atas sangat penting untuk diterapkan dalam
pemerintahan Islam. Salah satu tujuannya adalah agar suatu sumber pendapatan
tidak tercampur dengan sumber pendapatan yang lain. Seperti zakat dan pajak.
Redistribusi pendapatan hasil zakat, sudah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya,
yaitu kepada 8 golongan (ashnâf) yang berhak menerima zakat. Dan jika
terdapat sisa dari hasil pengumpulan zakat, maka khalifah dapat mengambil kebijakan
untuk disesuaikan dengan kebutuhan social. Sedangkan redistribusi pajak dapat
ditentukan oleh khalifah. Dan umumnya hasil pemungutan pajak ditujukan untuk
pembangunan negara. Karena itulah, para pejabat baitul mâl tidak
mempunyai wewenang dalam membuat suatu keputusan terhadap harta baitul mâl
yang berupa zakat.
Selanjutanya
dalam mendistribusikan harta baitul mâl, Umar mendirikan beberapa
departemen yang dianggap perlu, seperti:[13]
- Departemen pelayanan militer. Departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan. Besarnya jumlah dana bantuan ditentukan oleh jumlah tanggungan keluarga setiap penerima dana.
- Departemen kehakiman dan ekskutif. Departemen ini bertanggung jawab terhadap pembayaran gaji para hakim dan pejabat ekskutif. Besarnya gaji ini ditentukan oleh dua hal, yaitu jumlah gaji yang diterima harus mencukupi kebutuhan keluarganya agar terhindar dari praktik suap dan jumlah gaji yang diberikan harus sama dan kalaupun terjadi perbedaan, hal itu tetap dalam batas-batas kewajaran.
- Departemen pendidikan dan pengembangan Islam. Departemen ini mendistribusikan bantuan dana bagi penyebar dan pengembang ajaran Islam beserta keluarganya, seperti guru dan juru dakwah.
- Departemen jaminan sosial. Departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada seluruh fakir miskin dan orang-orang yang menderita.
Di
samping mendirikan beberapa departemen dalam pendistribusian harta baitul
mâl, Umar juga menerapkan prinsip keutamaan dalam mendistribusikannya. Ia
tidak senang memberikan bagian yang sama kepada orang-orang yang pernah
berjuang menentang Rasulullah saw dengan orang-orang yang telah berjuang
membela beliau. Menurut pendapatnya bahwa kesulitan yang dihadapi umat Islam
harus diperhitungkan jika menetapkan bagian seseorang dari kelebihan harta
bangsa itu. Prinsip keadilan menghendaki bahwa usaha seseorang serta tenaga
yang telah dicurahkan dalam memperjuangkan Islam harus dipertahankan dan
dibalas dengan sebaik-baiknya.[14]
Karena
hal itu, Umar membentuk sistem dîwân, yang menurut pendapat terkuat
mulai dipraktekkan untuk pertama kalinya pada tahun 20 H. Dalam rangka ini, ia
menunjuk sebuah komite nassâb ternama yang terdiri dari Aqil bin Abu
Thalib, Mahzamah bin Naufal, dan Jabir bin Mut`im untuk membuat laporan sensus
penduduk.
Setelah
semua penduduk terdata, Umar mengklasifikasikan beberapa golongan yang
berbeda-beda dalam pendistibusian harta baitul mâl sebagai berikut:
No.
|
Penerima
|
Jumlah
|
1.
|
Aisyah dan
Abbas bin Abdul Muthallib
|
@ 12.000
dirham
|
2.
|
Para istri
Nabi selain Aisyah
|
@ 10.000
dirham
|
3.
|
Ali,
Hasan, Husain, dan para pejuang Badr
|
@ 5.000
dirham
|
4.
|
Para
pejuang Uhud dan migran ke Abysinia
|
@ 4.000
dirham
|
5.
|
Kaum
muhajirin sebelum peristiwa Fathu Mekah
|
@ 3.000
dirham
|
6.
|
Putra-putra
para pejuang Badr, orang-orang yang memeluk Islam ketika terjadi peristiwa
Fathu Mekah, anak-anak kaum muhajirin dan anshar, para pejuang perang
Qadisiyyah, Uballa, dan orang-orang yang menghadiri perjanjian Hudaibiyyah.
|
@ 2.000
dirham
|
Orang-orang
Mekah yang bukan termasuk kaum muhajirin mendapat tunjangan 800 dirham, warga
Madinah 25 dinar, kaum muslimin yang tinggal di Yaman, Syria dan Irak
memperoleh tunjangan sebesar 200 hingga 300 dirham, serta anak-anak yang baru
lahir dan yang tidak diakui masing-masing memperoleh 100 dirham.[15]
Di samping itu, kaum muslimin memperoleh tunjangan pensiun berupa gandum,
minyak, madu, dan cuka dalam jumlah yang tetap. Kualitas dan jenis barang
berbeda-beda di setiap wilayah. Peran negara yang turut bertanggung jawab
terhadap pemenuhan kebutuhan makanan dan pakaian bagi setiap warga negaranya
ini merupakan hal yang pertama kali terjadi dalam sejarah dunia.[16]
Sebagaimana
yang diketahui tentang sosok Umar yang tegas dan bertanggungjawab, maka Umar
melarang pihak ekskutif turut campur dalam mengelola harta baitul mâl.[17]
Kebijakan Umar ini bertujuan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dalam
tugas, atau penyalahgunaan pendistribusian pendapatan negara untuk kepentingan
pribadi.
3.
Membangun lembaga Hisbah.
Hisbah
adalah kantor atau lembaga yang berfungsi untuk mengontrol pasar dan moral
(adab) secara umum.[18]
Dalam implementasinya, lembaga al-hisbah memiliki empat rukun, yaitu:
- Muhtasib (Pengelola al-hisbah).
Muhtasib adalah orang
yang menjalankan tugas-tugas al-hisbah. Pengelola ini harus memenuhi persyaratan
seperti: muslim, mukallaf, merdeka, mendapat rekomendasi dari pemerintah
setempat, mampu, dan berilmu.
- Muhtasab `alaih, yaitu orang atau pihak yang melakukan perbuatan-perbuatan atau meninggalkan jenis-jenis perbuatan tertentu yang wajib atau boleh dikenakan tindakan al-hisbah. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang muhtasib tidak boleh pilih kasih dalam menindak dan mengenakan al-hisbah atas mereka.
- Mushatab fîh, yaitu obyek al-hisbah yang meliputi berbagai macam perbuatan, baik yang bersifat positif maupun negatif. Pelanggaran yang dilakukan oleh muhtasab fîh ini harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
Kemungkaran tersebut harus nyata, lahir
dan diketahui.
b.
Kemungkaran tersebut sedang berlaku.
c.
Kemungkaran tersebut disepakati oleh
konsensus ulama fiqih.
- Nafs al-ihtisâb, yaitu cara atau tindakan al-hisbah.
Tujuan
dari tindakan al-hisbah adalah penghapusan segala tindakan kemungkaran
sekaligus menggantinya dengan kebajikan dan kemaslahatan sehingga tercipta rasa
aman dan tentram serta keadilan dalam komunitas masyarakat.[19]
Adapun
segmen kegiatan al-hisbah terhadap kontrol ekonomi itu di antaranya
adalah:
- Membuat ketentuan hukum yang jelas agar tidak terjadi penyelewengan dalam pemanfaatan sumber daya yang dimiliki.
- Mengontrol kesempurnaan alat takaran dan timbangan para penjual.
- Pedagang tidak dibenarkan untuk menyembunyikan kerusakan atau cacat yang ada pada barang perniagaannya dan dilarang bersumpah palsu dalam transaksi jual beli.
- Mengawasi jalur perdagangan tetap terbuka. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan atau penimbunan barang dari segelincir orang yang berakibat pada kelangkaan beberapa jenis barang, yang pada gilirannya berimplikasi pada terjadinya inflasi.
- Pedagang dilarang mengadakan monopoli terhadap suatu produk pasar tertentu.
- Menentukan harga standar bagi produk-produk yang akan dipasarkan.
- Dalam urusan kredit, seorang muhtasib hendaklah memastikan segala urusan perniagaan terbebas dari unsur riba.
- Seorang muhtasib memiliki wewenang untuk memaksa peminjam agar membayar pinjamannya jika dianggap mampu, sebaliknya ia juga berkuasa untuk menangguhkan hutang sampai orang yang berhutang dianggap mampu membayar hutangnya.
- Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan kemudahan pada rakyatnya seperti makanan, pekerjaan, perumahan, dan lain sebagainya. Selain itu, orang-orang miskin dan tidak mampu, diberi modal usaha yang dananya diperoleh dari dana infaq dan sedekah sehingga kemiskinan dapat teratasi.[20]
Menilik
sejarah, tanggung jawab al-hisbah mulanya dipikul oleh Rasulullah saw
sehubungan dengan adanya perintah Allah kepada Nabi saw sebagai rasul untuk
selanjutnya disampaikan kepada umatnya agar senantiasa mengajak kepada kebaikan
dan menghindari kemungkaran. Kemudian beliau mengangkat beberapa orang sahabat
yang diberi tugas untuk mengawasi jalannya suatu transaksi bisnis. Di kota
Madinah itulah, beliau mengangkat Said bin Ash dan seorang wanita yang bernama
Samra binti Nuhak sebagai pengawas pasar.
Lembaga
al-hisbah ini dihidupkan kembali oleh Umar dengan mengangkat seorang
sahabat wanita yang bernama asy-Syifa binti Abdullah, yang bertugas sebagai
pengawas pasar di kota Madinah. Di samping itu, Umar juga mengangkat Abdullah bin
Utbah sebagai inspektur pasar sekaligus bertindak sebagai hakim (qâdhi).[21]
Perbedaannya, di masa Rasulullah, al-hisbah masih belum berbentuk
lembaga. Sedangkan di masa Khalifah Umar, al-hisbah ini sudah menjadi
lembaga khusus dalam mengawasi hal-hal yang terjadi dalam pasar.
4.
Reformasi atas hak tanah.
Problem
hak kepemilikan tanah memang merupakan masalah yang rumit untuk dipecahkan dari
zaman ke zaman. Tidak jarang terjadi persengketaan, bahkan pertumpahan darah,
akibat dari persoalan hak kepemilikan tanah ini. Seiring dengan pertambahan
penduduk, tanahpun menjadi semakin langka atau sempit, dan harganya juga kian
meningkat. Alasan utama meningkatnya harga tanah memang pertambahan penduduk.
Karena secara alamiah, semakin banyak penduduk di suatu daerah, lahan untuk
tempat dan garapan tempat tinggal akan kian dibutuhkan.
Ada
tiga sifat tanah yang harus diingat, dan ini tidak dipunyai oleh unit-unti
produktif lainnya: (i) tanah dapat memenuhi kebutuhan pokok dan permanen bagi
manusia, (ii) tanah kuantitasnya terbatas, (iii) tanah bersifat tetap, (iv)
tanah bukan produk tenaga kerja. Jadi segala sesuatu yang selain tanah adalah
produk tenaga kerja. Tetapi bumi pun akan memberikan hasil baik jika digarap
dengan baik.[22]
Sifat-sifat tanah ini harus diketahui terlebih dahulu sebelum mengambil
kebijakan dalam persoalan hak kepemilikan tanah.
Sepanjang
pemerintahan Umar, banyak daerah yang ditaklukkan melalui perjanjian damai.
Penaklukkan ini memunculkan banyak masalah baru. Di antaranya mengenai hak
kepemilikan tanah yang sudah ditaklukkan. Islam memandang tanah dan semua yang
terkandung di dalamnya harus digunakan untuk kepentingan umum dan rakyat, dan
setiap orang berhak mendapatkan makanan dari pengelolaan tanah.
Dari
sudut Islam, tanah sesungguhnya milik Allah, dalam pengertian milik setiap
kelompok masyarakat (komunitas). Dan tak seorang pun boleh mendapatkan hak
istimewa atasnya, oleh karena itu siapa yang mengerjakan tanah yang terlantar,
maka dialah pemiliknya. Ini sesuai dengan sebuah hadits Rasulullah dari
penuturan Aisyah: "Pengolahan tanah terbengkalai yang bukan milik
siapapun, maka dialah yang memilikinya" (HR. Bukhari).[23]
Umar
menafsirkan hadits tersebut bahwa Rasulullah menginginkan agar tanah-tanah luas
yang telah dikuasai kaum muslimin haruslah dipikirkan pemanfaatannya di masa
depan. Maka ketika para pejuang mendesak dengan sangat agar tanah taklukan dibagi-bagikan
kepada mereka, bersama beberapa rampasan perang lainnya, Umar menolak dengan
tegas. Ia tidak mau menyerahkan tanah perkebunan dari tanah taklukan lainnya
kepada para prajurit.
Dari
sini ia sampai kepada kesimpulan akan perlunya pengawasan yang ketat dalam
pendistribusian tanah untuk mencegah terjadinya pembagian yang tidak adil. Hak
kepemilikan tanah dicabut dari pemilik aslinya, dan kemudian si pemilik asli
beralih menjadi petani biasa atau hamba atau budak pengelola tanah. Selanjutnya
hak kepemillikan diberikan menurut ketentuan-ketentuan baru. Jika salah seorang
pemilik baru menjual tanahnya, pengelolaannya itu dialihkan kepada pembeli
berikut tanahnya.[24]
Umar
menetapkan beberapa ketentuan, di antaranya jika suatu saat komunitas muslim
semakin bertambah banyak, maka negara berhak untuk mengambil kembali tanah
tersebut sebagai perbendaharaan guna memenuhi kebutuhan negara. Jadi jelas
meskipun berwenang mengambil alih hak kepemilikan, negara juga harus dan berhak
mengatur jangka waktu pemilikan tanah. Bisa saja tanah dijadikan milik pribadi
dengan mengenakan pajak tanah atasnya, tapi negara juga bisa menguasai tanah
yang luas dengan memberi ganti rugi dan kemudian menjadikannya milik umum.
Umar
menyadari pentingnya sektor pertanian untuk memajukan ekonomi negeri. Karena
itu beliau mengambil langkah-langkah pengembangan dan mengembalikan kondisi
orang-orang yang bekerja di bidang itu. Dia menghadiahkan kepada orang yang
sejak awalnya mengolahnya. Tapi siapa saja yang selama tiga tahun gagal
mengolahnya, maka yang bersangkutan akan kehilangan hak kepemilikannya atas
tanah tersebut.[25]
Semasa
Umar, tanah yang dinyatakan sebagai milik negara berjumlah sekitar 4.000.000
hektar. Pendapatan dari tanah ini mencapai 7.000.000 dinar setiap tahun, yang
semata-mata digunakan untuik kesejajahteraan umat. Jumlah kharâj dari
Iraq berkisar 86.000.000 dirham setiap tahun. Dengan penerapan sistem ini,
tanah-tanah yang sebelumnya tidak terurus, kemudian terolah baik, sehingga pada
tahun kedua terjadi lonjakan pendapatan yang tinggi sekali, dari 86.000.000
menjadi 100.020.000 dirham.[26]
5.
Keutamaan dan Kelemahan Kebijakan Ekonomi Umar bin Khattab
Abu
Ubaid pernah menuturkan sebuah riwayat tentang kesuksesan Umar dalam kitabnya al-Amwâl
sebagai berikut:[27]
Pada masa Umar, Muadz bin Jabal pernah mengirimkan hasil zakat yang dipungutnya
di Yaman kepada Umar di Madinah,[28]
karena Muadz tidak menjumpai orang yang berhak menerima zakat di Yaman. Namun
Umar mengembalikannya. Ketika Muadz mengirimkan kembali sepertiga hasil zakat
tersebut, Umar juga kembali menolaknya dan berkata: “Aku tidak mengutusmu
sebagai kolektor upeti, tetapi aku mengutusmu untuk memungut zakat dari
orang-orang kaya di sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan
mereka juga.” Muadz menjawab: “Seandainya aku menjumpai orang miskin di sana,
tentu aku tidak akan mengirimkan apa pun kepadamu.”
Pada
tahun kedua setelah itu, Muadz mengirimkan separuh hasil zakat yang
dipunugutnya di Yaman kepada Umar, tetapi Umar mengembalikannya. Dan pada tahun
ketiga, Muadz berkata: “Aku tidak menjumpai seorang pun yang berhak menerima
bagian zakat yang aku pungut.”
Riwayat
di atas menunjukkan kesuksesan Umar dalam memerintah, khususnya dalam bidang
ekonomi. Namun bukan berarti semua kebijakan yang ia ambil itu sempurna. Salah
satunya adalah prinsip keutamaan yang ia terapkan dalam mendistribusikan uang
negara kepada rakyatnya. Prinsip ini menyebabkan ketimpangan di bidang ekonomi
dan sosial. Dan sikapnya ini mengundang reaksi dari salah seorang sahabat yang
bernama Hakim bin Hizam. Menurutnya, tindakan Umar ini akan memicu lahirnya
sifat malas di kalangan para pedagang yang berakibat fatal bagi kelangsungan
hidup mereka sendiri, jika suatu saat pemerintah menghentikan kebijakan
tersebut.[29]
Umar
menyadari kekeliruannya ini dan mengubah pendapatnya serta bersumpah jika ia
masih hidup di tahun yang akan datang, ia akan menyamakan semua bantuan dan
pembagian kepada seluruh rakyatnya. Dalam pernyataannya yang populer berbunyi:
"Aku bersumpah demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia. Sesungguhnya
tidak ada seorangpun yang tidak mempunyai hak atas kekayaan (harta) ini (yang
diterima dari orang banyak) meskipun dalam prakteknya ia mungkin memperoleh
atau memiliki hak melebihi dari yang lainnya selain seorang budak. Kedudukanku
dalam hal ini sama dengan kalian dan derajat kita akan ditentukan berdasarkan
Kitab Allah dan Rasulullah saw. Demi Allah! Sesungguhnya jika aku masih hidup,
maka pengembala di bukit sanapun akan memperoleh bagian dari harta ini di
tempatnya sendiri".[30]
Namun sayangnya, Umar wafat sebelum harapannya tersebut belum dapat ia
realisasikan dalam kepemimpinannya. Meskipun demikian, Umar tetap merupakan
salah satu pemimpin yang disegani oleh rakyatnya, baik muslim maupun
non-muslim, bahkan ia adalah salah satu sosok pemimpin yang banyak dikagumi
sampai saat ini.
C. Penutup
Berdasarkan
uraian makalah ini, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama,
Umar bin Khattab telah memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi
manajemen keuangan negara dalam sejarah Islam, yaitu dengan mendirikan baitul
mâl secara institusional. Karena jika lembaga baitul mâl tersebut
tidak segera dibentuk, seiring dengan semakin meluasnya wilayah pemerintahan
Islam saat itu, maka tentunya akan menyulitkan pemerintahan Islam sendiri dalam
mengelola keuangan negara.
Kedua,
selain menjadikan baitul mâl sebagai sebuah lembaga otonom dalam
pemerintahannya, Umar juga menjadikan pengawasan pasar (al-hisbah) yang
telah digagas oleh Rasulullah Saw menjadi sebuah lembaga tersendiri. Lembaga
ini sangat membantu pemerintahan Umar untuk mengontrol harga barang di pasar
dan menindak para pelaku pasar jika melakukan penyelewengan dan kecurangan
dalam jual beli.
Ketiga,
Umar mereformasi hak kepemilikan tanah. Sebelum masa Khalifah Umar, tanah
taklukan dibagi-bagikan kepada para prajurit muslim yang ikut berperan dalam
penaklukannya secara langsung. Namun ketika Umar menjabat sebagai Khalifah,
tanah-tanah yang ditaklukkan oleh kaum muslimin sudah tidak dibagi-bagikan lagi
secara langsung, akan tetapi diserahkan kepada penduduk yang ditaklukkan untuk
dikelola dan diberdayakan secara produktif sehingga memberikan output
dan menambah income yang sangat besar bagi keuangan negara.
Gagasan,
kebijakan dan sistem yang diterapkan oleh Umar, baik dalam pemerintahannya
secara umum ataupun dalam menangani masalah perekonomian ini patut untuk
diteladani. Namun perlu diketahui bahwa sebaik apa pun kebijakan dan sistem
yang dijalankan, tidak akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan jika sikap
dan kepribadian para pemimpin masih mementingkan diri sendiri dan kurang
memperhatikan nasib rakyatnya.
Wallâhu
a’laim
DAFTAR ISTILAH
-
Dinar adalah koin uang yang
terbuat dari emas. Kandungan emas yang ada dalam koi uang dinar adalah 22 karat
dan beratnya 4,25 gram. Sejak zaman Rasulullah Saw hingga masa Khalifah V Bani
Umayyah yaitu Khalifah Malik bin Marwan, dinar yang digunakan oleh umat Islam
adalah dinar yang berasal dari kerajaan Romawi.
-
Dirham adalah koin uang yang
terbuat dari perak. Kandungan perak yang ada dalam koin uang dirham adalah 15
karat dan beratnya 3,98 gram. Sejak zaman Rasulullah Saw hingga masa Khalifah
Umar bin Khattab, dirham yang digunakan oleh umat Islam sebagai alat tukar
dirham yang berasal dari kerajaan Persia. Pada tahun 18 H, Khalifah Umar bin
Khattab mencetak mata uang dirham pertama kali dalam Islam dengan bertuliskan alhamdulillâh
dan di baliknya bertuliskan Muhammad Rasûlullâh.
-
Diwan adalah suatu daftar yang di
dalamnya tercatat nama-nama prajurit untuk pembayaran gaji dan pensiun.
-
Fai’ adalah semua harta benda yang
didapati dari musuh tanpa menjalani perang yang nyata. Termasuk dalam kategori fay
adalah kharâj, jizyah, dan `ushr. Harta fay ini
juga dibagi lima, diqiyaskan dengan ghanîmah, yaitu segala sesuatu yang
diperoleh kaum muslim setelah mengalahkan orang-orang kafir dalam peperangan.
Empat per lima dari harta rampasan perang dibagikan untuk para tentara atau
panglima yang ikut berperang, dan kuda yang ikut berperang. Sedangkan satu
perlimanya diperuntukkan pada Rasulullah, kerabat rasul, yang mana dikemudian
hari diambil oleh negara, dan akan dinafkahkan untuk golongan yang sudah
ditentukan oleh Allah dalam al-Qur`an (QS. Al-Anfal: 41).
-
Jizyah adalah pajak yang
dibebankan kepada orang-orang non-muslim, khususnya ahli kitab, sebagai jaminan
perlindunan jiwa, harta milik, kebebasan menjalankan ibadah, serta pengeculian
dari wajib militer. Besarnya jizyah adalah satu dinar per tahun untuk
setiap orang laki-laki dewasa yang mampu membayarnya. Jizyah ini ada dua jenis:
Pertama, jizyah yang diwajibkan berdasarkan persetujuan dan perjanjian,
dengan jumlah yang ditentukan bersesuaian dengan syarat-syarat persetujuan dan
perjanjian tersebut. Jizyah bentuk ini tidak dapat diubah-ubah meskipun
pada hari kemudian. Kedua, jizyah yang diwajibkan, secara paksa kepada
penduduk suatu daerah penaklukan.
-
Kharaj adalah pajak tanah yang
dipungut dari kaum non-muslim.
-
Khums adalah segala kekayaan yang
datang tanpa usaha, menanam modal atau tidak, melalui rampasan perang,
perdagangan, pertanian atau industri. Rampasan perang yang diperoleh kaum
muslimin dalam menaklukkan suatu daerah, 1/5 nya harus diserahkan untuk baitul
mal.
-
‘Ushr adalah bea impor yang
dikenakan kepada semua pedagang dan dibayar hanya sekali dalam setahun serta
hanya berlaku terhadap barang-barang yang bernilai lebih dari 200 dirham.
Tingkat bea yang dikenakan kepada para pedagang non-muslim yang dilindungi (ahl-adz-dzimmi)
adalah sebesar 5%, sedangkan pedagang muslim sebesar 2,5%, dan untuk kafir
harbi sebesar 10%. Di negara Islam, permulaan diterapkannya `ushr ini pada masa
khalifah Umar ibn Khattab.
-
Zakat adalah sebagian harta
tertentu yang dikeluarkan oleh seorang muslim untuk diberikan kepada yang
berhak menurut beberapa syarat tertentu. Zakat ini hukumnya wajib. Dan kadarnya
sudah ditentukan oleh syariat Islam. Zakat yang boleh dimasukkan ke dalam kas
baitul mal, hanya zakat dari jenis hasil bumi dan binatang.
DAFTAR PUSTAKA
A. Wahab Afif, Mengenal Sistem Ekonomi Islam. MUI Provinsi Banten
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, September 2004, cet. Ke-1,
edisi kedua.
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi
Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, jilid I..
Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad ibn
Isma’il ibn Ibrahim ibn al-Mughirah, Shahîh al-Bukhâri, Semarang:
Maktabah wa Mathba’ah Thaha Putra, tt, juz 3.
Al-Jauzi,
Ibnu, Manâqib Amîr al-Mukminîn Umar ibn Khattâb. Beirut: Dar wa Maktabat al-Hilal.
Al-Mawardi, Abu al-Husain Ali ibn
Muhammad, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, Dar al-Fikr, 1960, cet. Ke-1.
Ath-Thabari,
Muhammad ibn Jarir, Târîkh ath-Thabari, Beirut: Dar al-Kutub
al-`Ilmiyyah, cet. Ke-1, juz 2..
Essays
on Iqtisâd. Editor: Dr. Baqir al-Hasani dan Dr. Abbas Mirakhor.
USA: NUR, 1989.
Kahf,
Monzer, Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam,
Yogyakarta: Pustaka
pelajar, September 1995, cet. Ke-1.
Mannan,
M. Abdul, Ekonomi Islam: Teori dan Paktek, Yogyakarta: Dana
Bhakti Prima Yasa, 1997, terj. Nastangin.
Muhammad,
Quthb Ibrahim, Kebijakan Ekonomi Umar ibn Khattab. Pustaka Azzam, Juni
2002, Terj. Ahmad
Syarifuddin Shaleh, cet. Ke-1.
Ra`ana,
Irfan Mahmud, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar ibn Khattab. Pustaka Firdaus, 1977, Terj.
Mansuruddin Djoely, cet. Ke-2.
Sallam, Abu Ubaid Qasim ibn, Kitâb
al-Amwâl, Kairo: Darus Salam, 2009, cet. Ke-1.
Syalabi, Ahmad, Sejarah dan
Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, Juli 2003, cet. Ke-6, jilid I.
[1] Kahf, Monzer,
Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam, Yogyakarta:
Pustaka pelajar, September 1995, cet. Ke-1, hal. 7.
[2] Ibid.,
hal. 8.
[3] Syalabi,
Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna Baru,
Juli 2003, cet. Ke-6, jilid I, hal. 203.
[4] Al-Jauzi,
Ibnu, Manâqib Amîr al-Mukminîn Umar ibn Khattâb, Beirut: Dar wa Maktabat
al-Hilal, hal. 15.
[5] Ibid.,
hal. 32.
[6] Ath-Thabari,
Muhammad ibn Jarir, Târîkh ath-Thabari, Beirut: Dar al-Kutub
al-`Ilmiyyah, cet. Ke-1, juz 2, hal. 569.
[7] Adiwarman
Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, September 2004, cet. Ke-1, edisi
kedua, hal. 58.
[8] Al-Jauzi, op.cit., hal. 268.
[9] Al-Mawardi, Abu al-Husain Ali ibn
Muhammad, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, Dar al-Fikr, 1960, cet. Ke-1, hal.
213.
[10] Mannan, M. Abdul, Ekonomi Islam: Teori
dan Paktek, Yogyakarta:
Dana Bhakti Prima Yasa, 1997, Terj. Nastangin, hal.
180.
[11] Ra`ana, Irfan Mahmud, Sistem Ekonomi
Pemerintahan Umar ibn Khattab, Pustaka Firdaus, 1977, Terj. Mansuruddin
Djoely. cet. Ke-2, hal. 150.
[12] Adiwarman, op.cit., hal. 74.
[13] Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam.
Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, Jilid I, hal. 169-173.
[14] Afzalurrahman, op.cit., hal.
164. Kebijakan Umar ini berbeda dengan kebijakan Khalifah Abu Bakar ra sebelumnya,
di mana ia menerapkan prinsip persamaan dalam pendistribusian harta baitul
mâl kepada rakyat.
[15] Essays
on Iqtisâd. Editor: Dr.
Baqir al-Hasani dan Dr. Abbas Mirakhor, (USA: NUR, 1989, hal. 159-160.
[16] Ra`ana, op.cit.,
hal. 160.
[17] Ra`ana, op.cit.,
hal. 61.
[18] A. Wahab
Afif, Mengenal Sistem Ekonomi Islam, MUI Provinsi Banten, hal. 85.
[19] Ibid.,
hal. 72-73.
[20] Ibid.,
hal. 74-75.
[21] Ibid.,
hal. 86.
[22] Ra`ana, op.cit.,
hal. 18-19.
[23] Al-Bukhari,
Abu Abdillah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn al-Mughirah, Shahîh
al-Bukhâri, Semarang: Maktabah wa Mathba’ah Thaha Putra, tt, juz 3, hal.
70.
[24] Ibid.,
hal. 32.
[25] Ibid.,
hal. 39. dan Muhammmad, Quthb Ibrahim, Kebijakan Ekonomi Umar ibn Khattab,
Pustaka Azzam, Juni 2002, Terj. Ahmad Syarifuddin Shaleh, cet. Ke-1, hal.
95.
[26] Ibid.,
hal. 127.
[28] Muadz bin
Jabal adalah seorang sahabat sekaligus staf Rasulullah saw yang diutus untuk
memungut zakat di wilayah Yaman. Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, Muadz
terus bertugas di sana.
[29] Adiwarman, op.cit.,
hal. 64.
[30] Afzalurrahman,
op.cit., hal. 176.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar